Tataran Cita yang Dibutuhkan untuk Meditasi Bodhicita

Seloka Sujud-Sembah dan Seloka 1

Sang Pengarang, Atisha

Karangan Permata Bodhisattwa (Skt. Bodhisattva-mani-avali) ditulis oleh guru besar dari India, Atisha (Atisha Dipamkarashrijnana, 982-1054). Sebagai guru besar Buddha di Wihara Vikramashila, ia menaruh perhatian yang begitu besar untuk mencatat dan melestarikan ajaran-ajaran bodhicita, ajaran yang tidak dikenal secara luas di India.

Terdapat tiga silsilah ajaran sutra Mahayana yang turun dari Buddha, tidak hanya dua seperti kerap disebut dalam doa-doa silsilah. Satu silsilah adalah ajaran yang menyebar luas mengenai bodhicita, yang satu lagi adalah ajaran mendalam mengenai sunyata (kehampaan)—keduanya dikenal secara luas di India. Selain itu, ada juga suatu silsilah laku bodhicita. Inilah yang ingin dipelajari Atisha. Untuk itu, ia menempuh 13 tahun perjalanan ke Sumatera untuk mempelajarinya dengan guru besar Serlingpa, pemegang silsilah ini.

Setelah Atisha mempelajari ajaran-ajaran dari silsilah laku ini, yang kemudian dikenal dengan aliran latihan cita (lojong, latihan sikap), ia kembali ke India. Ia kemudian diundang ke Tibet. Pada masa itu di Tibet, Dharma sedang mengalami kemunduran. Dharma mengalami kemerosotan besar sehingga ada banyak kesalahpahaman pada ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, Atisha diundang untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran yang benar. Setelah melalui perjalanan yang amat sukar ke Negeri Salju itu, ia memulai penyebaran Dharma yang kedua di sana, serta menyebarkan ajaran-ajaran mengenai laku bodhicita.

Atisha juga dicatat sebagai pengarang naskah lam-rim pertama mengenai tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan. Dari Atisha dan murid utamanya di Tibet, Dromtonpa, aliran Kadam diturunkan – orang-orang yang mengikutinya disebut sebagai para “Kadampa.” Bahkan Karangan Permata Bodhisattwa masuk dalam Kumpulan Induk Ajaran-Ajaran “Kitab Kadam,” beserta uraian rinci pada tiap seloka yang diberikan oleh Atisha untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Dromtonpa, “bapak” dari aliran Kadam.

Gampopa, di dalam aliran Kagyu, menggabungkan silsilah-silsilah dari aliran Kadam dengan ajaran-ajaran mahamudra. Hasilnya, ajaran-ajaran bodhicita dan latihan cita sangat kuat ditekankan di aliran Kagyu yang diturunkan darinya. Aliran Sakya dan Nyingma juga memakai latihan cita atau ajaran lojong ini. Maka, jelas bahwa ajaran-ajaran lojong tersebut memainkan peran utama dalam perkembangan ajaran Buddha di Tibet. Saya pikir, penting bahwa naskah ini muncul sebagai yang pertama dalam kumpulan seratus latihan cita ini—naskah dalam bahasa Tibet. Ini menunjukkan bahwa, dalam banyak hal, naskah ini adalah salah satu pelopor dari aliran ini.

Aliran Kadam sendiri akhirnya terbagi menjadi tiga silsilah. Thsongkapa menyatukannya lagi dan memulai aliran Gelug, yang meneruskan aliran Kadam ini, yang menggabungkan sutra dan tantra. Atisha juga merupakan guru tantra, kendati ia menjaga lakunya dengan amat tersembunyi dan pribadi. Namun, kita bisa melihat tanda-tanda sisi tantranya di beberapa tempat dalam naskah kita, – sekalipun tantra dijaga amat "terselubung" – dalam seloka-seloka sujud-sembah yang digunakan Atisha untuk memulai naskahnya, Karangan Permata Bodhisattwa.

Seloka Sujud-Sembah

Tempat pertama kita melihat penggabungan sutra dan tantra ini adalah dalam seloka-seloka sujud-sembah yang digunakan Atisha untuk memulai naskahnya. Ia mengawali dengan:

Aku bersujud-sembah pada welas asih yang agung.
Aku bersujud-sembah pada para guru yang luhur.
Aku bersujud-sembah pada para sosok-Buddha,
mereka yang diyakini. 

Welas Asih yang Agung

Welas asih adalah keinginan agar orang lain terbebas dari duka dan sebab-sebab duka. Welas asih yang agung itu “agung” dalam pengertian bahwa ia bukan hanya keinginan agar orang lain terbebas dari duka rasa sakit dan duka perubahan – kebahagiaan yang biasa dan bersifat duniawi yang tidak langgeng, dan Anda takkan pernah tahu apa yang muncul berikutnya; tapi juga ia merupakan keinginan agar orang lain terbebas dari jenis duka yang serba-merembes. Duka yang serba-merembes ini mengacu pada gugusan anasir-anasir pengalaman kita – dengan kata lain, beraneka ragam bagian yang membentuk tiap detik pengalaman kita dalam tiap-tiap kelahiran kembali yang berulang tak terkendali. Mereka muncul dari kebingungan, bercampur dengan kebingungan, dan mengekalkan lebih banyak lagi kebingungan dan duka.

Jadi, welas asih yang agung adalah keinginan agar orang lain terbebas dari semua ini, dengan kata lain, untuk memperoleh kebebasan – dan lebih jauh lagi – mencapai pencerahan. Welas asih ini juga agung dalam arti bahwa ia diluaskan secara setara mutlak pada setiap makhluk hidup dengan sikap yang sama seperti seorang ibu mengasihi anaknya semata wayang. Itulah welas asih yang agung. Ini sungguh sebuah tataran cita yang luar biasa. Ini diarahkan secara mutlak kepada setiap orang dan dimaksudkan agar setiap orang mencapai tujuan yang mencakup-jauh.

Para Guru

Baris kedua dari seloka penghormatan ini adalah: sujud-sembah pada para guru yang luhur – inilah guru-guru rohani yang mewujudkan mutu welas asih yang agung. Karena mutu itu, mereka adalah guru rohani yang sepenuhnya mumpuni. Mereka memiliki welas asih yang setara terhadap setiap orang dan mereka berjuang menolong setiap orang untuk mencapai kebebasan dan pencerahan – tidak hanya murid-murid mereka. Contoh terbaik yang dapat kita lihat untuk ini barangkali adalah Yang Mulia Dalai Lama. Upayanya yang tak kenal lelah dalam mengajar ditujukan untuk menolong setiap orang di seluruh penjuru dunia untuk mengatasi duka mereka. Sekalipun ia lelah, ia terus maju. Itulah guru yang luhur, itulah seorang lama.

Sifat-Buddha dan Ketakterpisahan Guru, Avalokiteshvara dan Welas Asih yang Luhur

Juga Atisha berkata, Aku bersujud-sembah pada para sosok-Buddha. Ini secara khusus mengacu pada Avalokiteshvara, atau dalam bahasa Tibet “Chenrezig,” yang merupakan pewujudan welas asih pada tingkat tercerahkan, welas asih paripurna seorang Buddha. Perlu diperhatikan bahwa Atisha menyebut para guru terlebih dahulu, sebelum sosok-Buddha (yidam). Ia melakukan itu karena, seperti selalu dikatakan, melalui para gurulah orang dapat berhubungan dengan para sosok-Buddha ini.

Ketika kita bicara tentang melihat guru sebagai seorang Buddha, kita melihat sifat-Buddha di dalam diri guru tersebut. Melihatnya sebagai panutan, kita memusatkan perhatian pada unsur-unsur sifat-Buddha dan membedakan segi mana dari  unsur-unsur itu yang merupakan kemampuan mereka, ketika dibangun dengan cukup kuat, untuk memunculkan Buddha yang tercerahkan penuh sebagaimana diwakilkan oleh guru tersebut. Tidak penting apakah si guru tersebut betul-betul telah tercerahkan atau belum. Itu bukan pokok yang dimaksud. Pokoknya adalah memusatkan perhatian pada sifat-Buddha tersebut untuk mengilhami kita untuk menggugah sifat-sifat Buddha kita sendiri.

Di sini, unsur sifat-Buddha yang menonjol dari guru itu adalah welas asih paripurna para Buddha yang diwujudkan oleh sosok-Buddha Avalokiteshvara. Itulah mengapa kita sering membayangkan sosok-Buddha di dalam hati mereka dan juga di dalam hati kita, dan itulah mengapa kita sering membayangkan sang guru di dalam hati kita. Tanpa guru itu, kita tidak akan memiliki jalan masuk ke sosok-Buddha dan pencerahan. Karena alasan itu, dalam seloka persembahan ini Atisha memasukkan sosok-Buddha Avalokiteshvara setelah guru.

Mengenai ketiga unsur ini—welas asih, guru rohani dan Avalokiteshvara—Atisha berkata, mereka yang diyakini. Secara khusus, ini adalah keyakinan pada fakta. Keyakinan bukan berarti keyakinan pada sesuatu yang tidak betul-betul kita ketahui atau yang kita ragukan, seperti, "Aku yakin besok mungkin akan turun hujan"; melainkan keyakinan pada sebuah fakta. Di sini fakta itu adalah ketakterpisahan dari welas asih, guru, dan Avalokiteshvara. Maka dengan keyakinan penuh, kita melihat ketiganya sebagai satu kesatuan dan kita bersujud-sembah kepadanya.

Ini sebetulnya merupakan sebuah seloka sembah-sujud yang amat mendalam. Ini membuat kita banyak berpikir tentang Yang Mulia Dalai Lama, yang secara umum diakui oleh seluruh pengikut ajaran Buddha Tibet sebagai pewujudan Avalokiteshvara, pewujudan welas asih. Agar meyakininya sebagai sebuah fakta, penting untuk memahami apa arti perwujudan ini. Keyakinan kita tidak boleh didasarkan pada takhayul atau pada, "Aku tak tahu apa artinya itu, tapi bolehlah, aku yakini saja." Keyakinan macam ini tidak mendalam dan tidak teguh. Saya pikir penting sekali untuk memahami apa itu welas asih – terutama welas asih agung – agar tahu tentang siapa Yang Mulia dan apa yang ia kerjakan dan agar menghargai secara tulus mutu-mutu yang beliau miliki.

Selain itu, penting untuk memahami apa yang dimaksud sifat-Buddha dan apa arti penting melihat guru dengan sifat-Buddha. Apa sebetulnya arti Avalokiteshvara? Artinya adalah sifat-Buddha welas asih yang dimiliki setiap orang, yang berarti sifat dasar dari cita (hangat, peduli terhadap orang lain, dan seterusnya). Seperti semua unsur sifat-Buddha lainnya, welas asih memiliki tingkat dasar, jalan, dan hasil.

  • Tingkat dasar – apa yang kita semua miliki secara alami, seperti yang ditunjukkan oleh naluri orang tua
  • Tingkat jalan – apa yang kita miliki ketika memupuk welas asih tingkat dasar melalui latihan Buddha
  • Tingkat hasil – tingkatan seorang Buddha.

Kita dapat memperoleh wawasan mendalam pada ketiga tingkat itu dalam kerangka mutu-mutu guru. Guru membantu kita melalui proses mengembangkan tiga tingkat welas asih ini. Jika kita bisa memahaminya, kita bisa melakukan sembah-sujud pada ketakterpisahan welas asih, guru, dan yidam Avalokiteshvara dengan keyakinan dan kepercayaan yang teguh.

Di sinilah kemudian Atisha memasukkan sedikit tingkat tantra, melalui cara yang halus dan terselubung – yang memang seperti itulah seharusnya. Guru saya sendiri, yang darinya saya menerima ajaran ini, Geshe Ngawang Dhargyey, selalu menekankan bahwa ada amat banyak hal yang dapat kita lihat dalam seloka sujud-sembah ini. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa itu cuma hiasan semata di awal naskah dan melewatinya sekilas saja tanpa memperhatikan betul.

Seloka 1: Tataran Cita yang Dibutuhkan untuk Meditasi Bodhicita

Ketika kita perhatikan dengan teliti, kita bisa lihat bagaimana pokok utama naskah ini pada dasarnya didapat dari ajaran-ajaran Shantidewa dalam karyanya Memasuki Perilaku Bodhisattwa (Skt. Bodhicharyavatara). Kita juga bisa melihat banyak pokok dalam ajaran-ajaran latihan cita setelahnya – khususnya Delapan Seloka Latihan Cita dan Latihan Cita Tujuh Pokok–berdasar pada apa yang kita jumpai di sini dalam naskah Atisha. Maka, Atisha berbicara utamanya tentang bagaimana bermeditasi pada bodhicita dan bagaimana kita menjalankannya.

Ia memulai dengan:

Biarlah kuhindarkan diriku dari segala kebimbangan yang meragu dan kutinggikan kesungguhan sepenuh hati dalam lakuku. Maka, biarlah kuhidarkan diriku sepenuhnya dari kantuk, lamunan, dan kemalasan, dan senantiasa berupaya dengan kegigihan.

Menghindarkan Diri dari Kebimbangan yang Meragu tentang Apa itu Bodhicita dan Bagaimana Bermeditasi pada Itu

Supaya mampu bermeditasi pada bodhicita, kita pertama-tama perlu mendengar ajaran tentangnya. Kita pertama-tama perlu menghindarkan diri dari kebimbangan yang meragu tentang di mana menemukan ajaran-ajaran itu: mereka didapat dari Tiga Keranjang (Skt. Tripitaka) yang berisi sabda Sang Buddha. Kita kemudian perlu mendengarkan atau membaca kata-kata Sang Buddha dengan saksama dan sepatutnya, dan kemudian memikirkan agar memahaminya dengan benar. Maksud dari melakukan semua hal itu adalah untuk menghindarkan diri dari kebimbangan yang meragu tentang ajaran-ajaran mana tempat kita berpijak, apa saja ajaran itu dan apa itu bodhicita..

Kita perlu tahu secara pasti bahwa bodhicita merupakan sebuah cita yang memusat pada pencerahan kita sendiri secara perorangan – bukan pencerahan Buddha, dan bukan sekadar pencerahan di awang-awang sana. Bodhicita adalah cita yang memusat pada pencerahan kita sendiri di masa depan, yang belum terjadi tapi mungkin kuperoleh atas dasar sebab-sebabnya, yakni unsur-unsur sifat-Buddha. Maka, Bodhicita dipusatkan pada pencerahan kita yang belum terjadi dengan niat untuk mencapainya. Yang mendorong kita untuk mencapainya adalah kasih dan welas asih – keinginan untuk memberi manfaat bagi semua makhluk dan untuk menolong mereka mengenyahkan duka mereka. Bermanfaat bagi orang lain adalah niat kedua yang menyertai bodhicita kita. Itulah yang kita hendak lakukan begitu kita telah mencapai pencerahan itu, meskipun tentu saja kita berusaha menolong orang lain sebaik kemampuan kita menuju pencerahan.

Jadi, kita harus mengenyahkan seluruh kebimbangan yang meragu mengenai apa sebetulnya pokok dari meditasi itu – bodhicita – bagaimana bermeditasi atas pokok tersebut, dan apa tataran cita yang perlu kita bangkitkan. Oleh karena itu kita harus mendengarkan ajaran-ajaran tentang itu, memikirkannya, dan memahaminya. Pastinya itu sangat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita bisa bermeditasi atas bodhicita?

Bermeditasi atas bodhicita dan mengembangkan bodhicita itu tidaklah sederhana. Tidak begitu jelas apa yang sebetulnya kita lakukan dalam meditasi dan apa yang kita pusatkan. Itu sama sekali tidak jelas dan tidak gampang. Bagaimana kita memusatkan perhatian pada pencerahan kita sendiri di masa mendatang? Kita butuh punya sesuatu yang mewakilinya. Ini bisa diwakili oleh seorang Buddha, oleh guru, oleh pohon silsilah para guru, atau oleh yidam, sosok-Buddha. Ini bisa diwakili oleh begitu banyak hal.

Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana adu-pendapat dan meditasi bodhicita bisa berjalan bersamaan, tapi sebenarnya, tujuan utama dari adu-pendapat adalah untuk menghapuskan kebimbangan meragu. Untuk bermeditasi dengan benar, kita harus tahu pada apa cita memusat, bagaimana tanggapannya, dan apa anasir-anasir batin yang menyertainya – kasih, welas asih, niat, dorongan, hal-hal semacam ini. Kemudian kita harus tahu cara membangkitkan tataran cita itu. Melalui proses adu-pendapat, kita mampu menghapuskan kebimbangan tentang pokok-pokok tersebut.

Banyak orang merancukan bodhicita dengan welas asih. Mereka mengira sedang melakukan meditasi bodhicita, padahal sebetulnya mereka bermeditasi atas kasih dan welas asih untuk setiap makhluk. Bermeditasi pada keinginan agar semua makhluk bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan, dan agar semua makhluk bebas dari duka dan sebab-sebab duka adalah bagian dari dasar untuk bodhicita. Semua itu menyertai bodhicita, tapi tidak sama dengan bodhicita. Ada kebingungan yang sama dengan welas asih: banya orang bermeditasi atas welas asih, tapi bukan atas welas asih agung. Jadi, sekali lagi, penting untuk mencoba mengenyahkan kebimbangan meragu, dan ketakyakinan pada pokok-pokok itu.

Juga, ketika kita tidak yakin pada apa yang kita lakukan dalam meditasi, kita mengalami halangan berupa lamunan. Batin kita mengembara, bertanya-tanya, “Apakah ini bodhicita, ataukah itu?” “Apakah aku bermeditasi dengan benar, atau salah?” Kita selalu mempertanyakan apa yang semestinya kita lakukan. Jadi, kita tidak hanya perlu memperoleh kepercayaan tentang apa itu bodhicita dan bagaimana bermeditasi pada itu, melainkan juga perlu memperoleh kepercayaan bahwa laku yang kita jalankan itu sahih. Kita perlu mengeyahkan kebimbangan meragu, "Apakah ini laku yang benar?" "Apakah ini akan berhasil?" "Apakah ini akan gagal?" dan seterusnya. Semua ini harus diurus pada tingkat mendengarkan ajaran dan khususnya, tingkat memikirkan ajaran itu – yang, lagi-lagi, adu pendapat bisa membantu kita – sebelum kita bisa betul-betul bermeditasi dengan benar. Seperti ungkapan bahasa Jerman, segala sesuatu harus jernih dulu, "Alles klar," supaya betul-betul bermeditasi dengan benar atas suatu pokok tertentu. Kalau tidak, Anda hanya pura-pura bermeditasi. Kita hanya duduk di situ bermain-main; kita tidak benar-benar tahu apa yang kita lakukan. Itu tidak akan banyak bermanfaat.

Bersungguh-sungguh dengan Sepenuh Hati dalam Laku Bodhicita Tergantung pada Dorongan yang Tulus

Kemudian, atas dasar mendengarkan dan memikirkan ajaran dengan benar serta mengenyahkan kebimbangan meragu ini, kita bisa meninggikan kesungguhan sepenuh hati dalam lakuku. Ini mengacu pada meditasi di mana kita kini betul-betul membina bodhicita sebagai sebuah kebiasaan. Kita mampu membangkitkan tataran cita itu lagi dan lagi, menjadikannya lebih kuat dan semakin kuat lagi. Dan kesungguhan sepenuh hati berarti upaya kita untuk membangkitkan bodhicita sangat tulus dan kita melakukannya dengan sepenuh hati.

Dan untuk mengerahkan seluruh hati kita bergantung pada dorongan kita. Kalau dorongannya benar-benar tulus,  maka kita akan tulus dalam laku kita. Kita tidak hanya melakukannya atas dasar tugas, atau rasa bersalah, atau sesuatu semacamnya. Jadi mengupayakan dorongan itu penting sekali. Ketika dorongan itu tidak kuat, dan ini akan sering terjadi, kita perlu belajar berbagai cara untuk mampu memperkuatnya lagi.

Banyak hal juga bergantung pada kawan bergaul kita – apakah orang-orang di sekitar kita mendukung laku kita. Memiliki sekumpulan orang yang ramah dan hangat yang juga memasuki laku yang sama, dan para guru rohani dan sebagainya, membantu kita untuk menjaga dorongan kita tetap kuat. Juga, berada di antara orang-orang yang amat berduka dapat memperkuat dorongan kita dengan begitu hebatnya. Kita mendapatkan ilham dari atas – dari para guru besar – dan juga dari bawah – dari mereka yang menderita karena duka. Seperti dikatakan Shantidewa, pencerahan datang secara setara melalui kebaikan para Buddha dan juga para makhluk berindera, makhluk terbatas.

(VI.113) Bila perolehan Dharma seorang Buddha (pencapaian) itu (sama-sama) karena makhluk terbatas dan Yang Berjaya (para Buddha), tatanan macam apa yang membuat rasa hormat yang diberikan kepada makhluk terbatas tidak seperti yang diberikan pada Yang Berjaya?

Penjelasan tentang Bagaimana Bermeditasi atas Bodhicita

Memusatkan pada Pencerahan-Pencerahan Kita yang Belum Terjadi

Bermeditasi atas Bodhicita memusat pada pencerahan kita sendiri di masa depan. Saya tidak ingin masuk ke rincian yang terlalu banyak, tapi kalau kita pikirkan kesinambungan batin kita, maka pencerahan kita itu merupakan suatu hal yang dapat disematkan secara sahih pada kesinambungan mendatang tersebut. Pencerahan mendatang kita, yang belum lagi terjadi, dapat disematkan secara sahih pada kelanjutan mendatang dari kesinambungan batin kita, dengan berdasar pada kelanjutan anasir-anasir sifat-Buddha. Kalau berbagai sebab telah dibangun, yakni dua jejaring daya positif dan kesadaran mendalam dan seterusnya, maka tataran tercerahkan yang dapat kita capai itu pasti akan terjadi. Kita harus yakin akan hal itu.

Dan untuk memusatkan perhatian pada pencerahan itu, kita menggunakan sesuatu untuk mewakilinya, katakanlah sesosok-Buddha atau seorang Buddha. Yang diwakilinya adalah pencerahan masa depan yang dapat disematkan secara sahih pada kesinambungan batin, dan yang kelak dapat kita raih atas dasar anasir-anasir sifat-Buddha.  Itulah yang dipusatkan oleh cita kita. Kesadaran itu lalu disertai dengan dengan kasih, welas asih, niat untuk mencapai tujuan itu dan menolong setiap orang begitu Anda mencapai tujuan itu. Ada sejumlah anasir batin yang menyertainya, tapi ini sedikit berseluk-beluk.

Sama seperti kita bisa berpikir, melihat dan mendengar pada waktu yang sama, kita bisa menyadari beberapa hal sebagai sasaran pengetahuan kita pada waktu yang sama – meskipun tidak semuanya dengan tingkat perhatian yang sama. Kasih dan welas asih masing-masing diarahkan pada makhluk berindra. Kasih memusat kepada mereka dengan keinginan agar mereka bahagia; sedangkan welas asih memusat pada duka mereka dan dengan keinginan duka mereka sirna. Kita membangkitkan dua hal itu, secara bersamaan, karena masing-masing memiliki sasaran yang berbeda. Ketika kita kemudian membangkitkan tujuan bodhicita berdasarkan kasih dan welas asih ini, pemusatan kita adalah pada pencerahan kita yang belum terjadi, dengan keinginan untuk mencapainya. Yang juga memusat pada  pencerahan kita yang belum terjadi adalah dua niat: untuk mencapai pencerahan itu dan bermanfaat bagi orang lain dengan pencapaian itu. Perhatian utama kita adalah pada bodhicita, yang meskipun kasih dan welas asih tetap hadir, mereka bukan pemusatan utama kita. Jadi, mereka memberi rasa pada tujuan bodhicita kita, tapi sasaran utama mereka yakni semua makhluk terbatas tidak muncul dalam cita kita.

Seperti yang saya katakan, butuh waktu lama dan banyak sekali pemikiran dan pembahasan supaya benar-benar memiliki pemahaman yang jelas tentang apa arti meditasi bodhicita. “Sekarang aku akan duduk dan bermeditasi atas bodhicita – tapi, apa yang sebetulnya kulakukan ini?"

Kemudian, tentunya, ada langkah-langkah untuk kitaa mengupayakan diri agar betul-betul merasakan bodhicita dengan tulus, yang berarti membangun rasa kasih dan welas asih. Ada sejumlah upaya terampil yang kita dapat gunakan: meditasi sebab-akibat tujuh-bagian, atau meditasi menyetarakan dan menukar diri dengan yang lain, atau sebelas-bagian yang menggabungkan keduanya.

Izinkan saya menambahkan satu hal lagi di sini, yang penting dalam memahami arti memiliki welas asih agung. Ketika kita menuju pada bodhicita dan menuju pada pencerahan kita kelak, kita juga perlu tahu apa itu pencerahan. Kita perlu tahu apa artinya dan apa saja mutu dari tataran tersebut. Itu mengapa sosok-Buddha atau seorang Buddha merupakan perwakilan yang sangat baik dari hal itu. Ketika kita membayangkan sosok-Buddha atau seorang Buddha, kita dapat memikirkan tentang semua mutu yang dimiliki oleh makhluk tercerahkan. Dan tentu saja, dengan welas asih agung, kita melakukan itu dengan niat untuk menolong setiap makhluk. Yang kita maksud di sini adalah makhluk-makhluk yang tak terhitung jumlahnya, jadi cakupannya luar biasa luas.

Begitu kita mulai memahami apa maksud dari tataran cita bodhicita – betapa tak terbayangkan luasnya – maka kita bisa mulai memahami bab pertama Shantidewa, yang di dalamnya ia memuat pujian untuk bodhicita. Kalau tidak, itu cuma sekadar puisi yang indah saja.

(I.25) Ratna cita yang luar biasa ini (bodhicita) – cita yang dicurahkan demi kepentingan makhluk terbatas, yang dalam diri orang lain tidak muncul sekalipun untuk kepentingan mereka sendiri – menghablur sebagai keajaiban yang belum pernah ada.
(I.26) Bagaimana mungkin daya positif dari cita bagai-ratna, yang merupakan sebab dari kebahagiaan bagi semua makhluk kelana dan ramuan mujarab bagi duka makhluk terbatas, merupakan sesuatu yang dapat diukur?

Bagaimana Mungkin Memusatkan Perhatian pada Sesuatu yang Belum Terjadi?

Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana kita memusatkan perhatian pada sesuatu yang belum terjadi. Saya akan memberi satu contoh, karena penting sekali kita memahami apa itu bodhicita. Pencerahan kita kelak adalah sesuatu yang belum terjadi, seperti hari esok. Hari esok belum terjadi, tapi apakah hari esok itu ada? Apaka ada hari esok? Bagaimana kita memusatkan perhatian pada hari esok dan merencanakan hari kita jika hari esok tidak ada? Apa yang kita pusatkan ketika kita memikirkan hari esok? Kita tidak memusatkan pada hal yang tidak ada. Ada pokok-pokok untuk dipikirkan dan untuk diperbincangkan.

Sesuatu yang Belum Terjadi adalah Gejala Penidakan

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita memusatkan perhatian pada sesuatu yang belum terjadi, penting sekali untuk memahami penyajian filsafati Buddha mengenai gejala yang bisa kita ketahui secara sahih dan penyajian tentang gejala penegasan serta penidakan. Ini karena kelompok-kelompok gaya Barat pada hal-hal yang ada dan yang tidak ada tidaklah sesuai dengan pembahasan di sini. kita mengenai memusatkan perhatian pada sesuatu yang tidak ada dan seterusnya itu tidak berkaitan dengan pembahasannya. Menurut penyajian Buddha, sesuatu itu ada kalau ia dapat secara sahih diketahui, baik secara bercitra maupun nircitra; kalau ia tidak ada maka ia tidak dapat diketahui secara sahih.

Di dalam hal yang dapat diketahui secara sahih terdapat gejala penegasan dan penidakan. Pencerahan kita kelak adalah gejala penegasan. Sebagaimana kita bisa melihat cerpelai tanpa pernah melihatnya sebelumnya, kita bisa memusatkan pada pencerahan tanpa harus memusat pada itu sebelumnya. Ketika kita memusatkan perhatian pada pencerahan ini, maka kita memusatkan pada gejala penegasan. Gejala penegasan ini dipertalikan pada suatu unsur dari sebab-sebabnya, yakni jejaring daya positif dan kesadaran mendalam yang kita miliki. Unsur ini adalah kemampuan mereka untuk memunculkan pencerahan sebagai hasilnya ketika semua sebabnya dapat secara sahih diketahui, sama seperti hari esok dikaitkan dengan hari ini dapat secara sahih diketahui. Lebih jauh lagi, apa yang bisa dikaitkan dengan pencerahan masa depan itu adalah kebelum-terjadiannya. Kebelum-terjadian itu adalah gejala penidakan; ia menidakkan keterjadiannya saat ini. Untuk mengetahun secara sahih bahwa itu belum terjadi, kita perlu tahu apa yang saat ini terjadi untuk menyagkalnya. Sebagai contoh, kita perlu tahu bahwa sekarang masih hari ini agar tahu bahwa hari esok belum terjadi.

Kita dapat mewakilkan pencerahan yang belum terjadi dengan sosok-Buddha dan secara sahih menyematkan “aku” pada sosok itu, tapi hanya ketika kita juga mengetahui kebelum-terjadian diri kita dalam menjadi seorang Buddha. Sebaliknya, jika kita berpikir bahwa kita saat ini telah menjadi Buddha, maka kita menyesatkan diri kita sendiri.

Memusatkan Perhatian dalam Meditasi Bodhicita pada Sesuatu yang Belum Terjadi Bukanlah Memusatkan Perhatian pada Sesuatu yang Tidak Ada

Karena pokok-pokok inilah saya mengatakan orang harus mengenyahkan kebimbangan meragu mengenai ini. Kalau tidak, setelah beberapa saat Anda bilang, "Aku tidak betul-betul tahu apa yang sedang kulakukan ketika duduk di sini mencoba melakukan meditasi bodhicita. Apakah aku memusatkan perhatian pada sesuatu yang tidak ada sama sekali?" Lalu ini menjadi perbuatan gila.

Pokok yang diajukan Atisha adalah bahwa kalau kita ingin mampu untuk melakukan meditasi eka-cita dan melakukannya dengan benar, kita harus mengenyahkan semua kebimbangan meragu ini – ketidakyakinan kita tentang apa itu, bagaimana melakukannya, dan seterusnya. Kalau tidak, yang akan terjadi adalah, sebagaimana tinjauan ini katakan, batin kita berkelana, "Apa aku melakukannya dengan benar? Apa yang terjadi di sini? Mungkin ini tidak ada." Kelana batin juga akan muncul apabila kita tidak yakin bahwa kita dapat betul-betul mencapainya. Jadi, di sini, dengan sedikit kata saja, Atisha memberikan arahan yang amat mendalam tentang cara bermeditasi.

Pembahasan bodhicita yang kita angkat di sini sangatlah penting. Kita harus jelas tentang apa itu meditasi bodhicita. Jika kita tidak punya kejelasan tentang itu, maka laku ini jadi sedikit aneh.

Mengeyahkan Rintangan Lain dalam Meditasi

Jadi, kita sungguh-sungguh sepenuh hati di dalam laku. Begitu kita tahu bagaimana sebetulnya membangkitkan bodhicita dan mampu memusatkan perhatian pada tataran cita ini, maka kemudian kita perlu mengenyahkan berbagai rintangan yang muncul dalam meditasi itu. Paruh kedua dari seloka itu berbunyi: maka, biarlah kuhidarkan diriku sepenuhnya dari kantuk, lamunan, dan kemalasan. Kita sudah berurusan dengan kelana batin ketika mengenyahkan kebimbangan meragu; sekarang ada lagi rintangan yang berkaitan dengan ketumpulan.

Kantuk dan Lamunan

Jenis ketumpulan paling berat adalah kantuk, jatuh tertidur – yang jelas merupakan rintangan bagi meditasi. Dengan ketumpulan jenis ini, keinsafan menarik diri dari indra. Itulah arti tidur. Dan lamunan merupakan jenis ketumpulan yang lebih ringan. Kita melamun ketika cita dan raga kita terasa sangat berat. Jenis ketiga, yang paling ringan, adalah kemalasan. Meskipun kemalasan sebenarnya bukan rupa dari ketumpulan batin, ia mendasarinya. Ketika kita berupaya mengenyahkan berbagai rintangan batin, kita senantiasa berupaya dengan yang paling berat terlebih dahulu kemudian yang lebih ringan. Dan di sinilah kemalasan sebagai yang paling ringan.

Tiga Macam Kemalasan

Shantidewa menjelaskan kemalasan dalam bab ketujuh, “Kegigihan,” dari naskahnya dengan amat rinci. Ada tiga jenis kemalasan.

Jenis pertama adalah kelesuan. Kelesuan berarti tidak punya tenaga dan semangat – kita merasa enggan melakukan apapun sehingga kita menunda-nunda. Ada tiga sebab untuk ini. Shantidewa menjelaskan:

  • Bersikap masa bodoh tentang masalah yang berulang – tidak punya minat dan kepedulian. Ketika kita bersikap masa bodoh, kita tidak peduli, sehingga kita lesu; kita tidak ingin melakukan apapun.
  • Merasa nikmat dengan keadaan tak berbuat apa-apa – bersenang-senang dengan hanya duduk-duduk tanpa melakukan apapun. Itu membuat kita lesu, sehingga lagi-lagi kita tidak ingin melakukan apapun.
  • Mendambakan tidur sebagai tempat berlindung, kita tidak bisa menghadapi apa yang terjadi, dan kita hanya mau melarikan diri ke kasur kita yang hangat dan nyaman.

Jenis kemalasan yang kedua adalah bergantung pada hal yang remeh. Contohnya seperti mengobrol terus-menerus tentang hal tidak penting dan melekat pada segala macam kesibukan di sekitar rumah atau apapun – yang sebetulnya merupakan dalih untuk tidak melakukan apapun yang membangun. Yang berkaitan dengan itu adalah penunda-nundaan, menunda segala sesuatu sampai nanti karena kita sedang asyik dengan hal remeh.

Rupa kemalasan ketiga adalah tak bersemangat dan, karenanya, jadi meremehkan diri. Kita berpikir, "Aku tak bisa melakukannya. Aku tak mampu," jadi kita bahkan mencoba saja tidak. Itu rupa kemalasan.

Kegigihan sebagai Lawan bagi Kemalasan

Lawan dari kemalasan adalah kegigihan, sebutan lain untuk ini adalah “semangat menggelora” atau “gagah berani.” Seperti bunyi baris terakhir, Dan senantiasa berupaya dengan kegigihan. Seperti yang dijelaskan Shantidewa dengan sangat apik, kegigihan berdasar pada beberapa unsur.

  • Niat yang kuat – limpahan kegembiraan dan tenaga, berdasar pada keyakinan teguh pada manfaat dari melakukan sesuatu yang positif. Dengan niat yang kuat, dalam lubuk hati kita merasa: “Aku akan melakukannya dan takkan menyerah!”
  • Keteguhan dan rasa bangga – keteguhan adalah mutu berupa tetap tegar, tidak goyah. Ini berdasar pada kepercayaan-diri karena kebanggaan atas diri sendiri – kita tahu bahwa kita akan mampu melakukannya dan kita tidak berpikir jelek tentang diri kita sendiri.
  • Rasa senang – bersukacita dalam perbuatan kita. Dan khususnya karena yang kita lakukan itu membangun, kita mendatangkan lebih dan lebih banyak lagi sukacita saat kita melakukannya.
  • Merelakan – dengan kata lain, mampu merelakan kalau kita lelah dan butuh istirahat. Kalau kita memaksakan diri terlalu keras, kalau kita terlalu fanatik, kita akhirnya akan ambruk. Juga mampu merelakan ketika kita selesai dengan tahap tertentu. Kita harus tahu cara merelakan dan melanjutkan ke tahap berikutnya. Terdapat dua segi dari merelakan.

Ada dua segi lebih lanjut yang disebutkan Shantidewa.

  • Siap menerima – kita harus menerima fakta bahwa jalan yang kita lalui akan sukar. Kita harus menerima kenyataan dan tidak jatuh ke dalam khayalan sesat tentang itu, berpikir bahwa itu akan mudah dan menyenangkan. Kita harus menerima bahwa kesukaran akan ada di sana. Dengan kata lain, kita harus punya sikap yang makul.
  • Memegang kendali – kita memegang kendali atas diri kita sendiri, "Aku akan melakukannya."

Top