Dasar: Guru Mumpuni dan lahir Kembali sebagai Manusia

Tsongkhapa, Pengarang Naskah

Anda sekalian di sini menaruh minat hebat terhadap Dharma dan niat hebat untuk mengikuti ajaran-ajaran. Anda telah mengundang saya ke sini untuk mengajar dan saya amat senang berada bersama Anda. Saya telah diminta untuk mengajar naskah yang disebut Sokoguru bagi Sifat-Sifat Baik (Yon-tan gzhi-gyur-ma) oleh guru besar dari Tibet, Tsongkhapa (Tsong-kha-pa Blo-bzang grags-pa).

Sokoguru bagi Sifat-Sifat Baik tidaklah panjang; hanya ditulis dalam beberapa patah kata saja. Akan tetapi, yang telah dibicarakan mengenai beberapa patah kata ini amat sangat luas. Naskah ini termasuk dalam puja-puja sebagai Jorcho (sByor-mchod) – Puja Persiapan, yang kadang disebut juga Puja Lam-rim. Di dalam Puja Persiapan, ia merupakan bagian dalam mana permohonan dipanjatkan. Naskah ini menyentuh semua pokok dari naskah-naskah mahakarya dan disusun dalam kerangka cara orang menjalankan lakunya. Secara khusus, ia diatur selaras dengan tingkat-tingkat atau laku-laku bagi orang per orang yang berada di tataran dorongan awal, tengah, dan lanjut, seperti didapati dalam Pelita bagi Jalan Menuju Pencerahan, Bodhipathapradipa (Byang-chub lam-sgron), oleh guru agung Atisha, yang paling luar biasa dari semua pendeta terpelajar di India.

Arahan dan ajaran pribadi yang didapati dalam naskah kita ini diturunkan dari silsilah-silsilah para perintis luar biasa dari India, Nagarjuna dan Asanga. Dua nama ini bagai matahari dan bulan, dan menjulang di antara berbagai guru terpelajar dari India. Nagarjuna memperoleh arahan-arahannya dari Manjushri yang senantiasa waspada, sementara Asanga dari Maitreya. Silsilah-silsilah yang meluas dari dua guru ini disebut, berturut-turut, "silsilah pandangan mendalam" dan "silsilah perilaku yang luas". Akan tetapi, Buddha keempat dari zaman kita, guru universal Buddha Shakyamuni, adalah sumber pangkal dari kedua garis ini.

Buddha Shakyamuni memutar cakra Dharma tiga kali. Dalam tiga putaran penyebaran ini, ia menetapkan ajaran-ajaran atas berbagai jalan bagi pematangan cita dari semua makhluk terbatas (semua makhluk berindera). Buddha punya banyak murid, yang di antaranya ada yang berasal dari lingkaran awal lima muridnya, dan kemudia para penyimak ajaran (para shravaka), kaum pengembang diri (para pratyekabuddha), dan para makhluk pengabdi (para bodhisatwa). Banyak dari para pengikutnya mencapai tataran makhluk terbebaskan (anarhat).

Pema Nangsu-chen, satu dari para murid Buddha, mempersembahkan kepada Buddha sebuah tasbih kristal dengan hati bodhicita yang tulus berbakti. Ia memanjatkan doa-doa khusyuk bahwa ajaran-ajaran tersebut akan menyebar luas dan jauh. Buddha kemudian meramalkan bahwa ia yang mempersembahkan tasbih kristal yang terdiri dari seratus manik akan terlahir kembali di tanah sebelah utara yang disebut "Tibet". Di sebuah kehidupan di masa mendatang, orang ini akan menyebarkan ajaran sampai jauh dan luas, dan akan memahkotai sebuah patung Buddha di Tibet dan membuat persembahan besar-besaran baginya.

Di lain waktu, ketika Buddha Shakyamuni sedang undur-diri di musim panas, bocah laki-laki Luchig membuat suatu persembahan berupa kulit kerang Dharma bagi Buddha di dalam perkumpulan undur-diri tersebut. Buddha mempercayakan persembahan tersebut pada muridnya Maudgalyayana (Mo'u 'gal-gyi bu), yang teramat terampil dalam kekuatan-kekuatan pancaran, dan menyuruhnya untuk menguburnya di Tanah Bersalju sebelah utara, di sebuah tempat dimana sebuah danau dan tebing-tebing bertemu. Ia berkata bahwa di masa mendatang, penyebar-luasan Dharma yang luar biasa akan memancar dari tempat itu.

Tepat seperti nubuat ini, Tsongkhapa yang agung lahir di Tanah Bersalju sebelah Utara dan menggali kulit kerang Dharma yang telah dikubur di sana. Ia mempercayakan harta karun ini pada salah satu muridnya, Jamyang Chojey ('Jam-dbyangs Chos-rje), yang membangun wihara Drepung ('Bras-spungs) yang luar biasa tempat 7. 700 biksu akhirnya bermukim. Dengan demikian, Tsongkhapa datang untuk menyebarkan ajaran-ajaran di Tibet.

Juga segaris dengan nubuat tersebut, Tsongkhapa membuat suatu kajian luas di ranah sutra dan tantra. Ia mencapai penguasaan sempurna dalam mempelajari dan menyimak ajaran-ajaran. Bukan hanya menyimak ajaran-ajaran Dharma, Tsongkhapa juga memikirkannya dan memeditasikannya, membina ajaran-ajaran tersebut sebagai kebiasaan-kebiasaan cita yang positif. Dengan demikian, ia mencapai penguasaan menyeluruh dari tahap-tahap menyimak ajaran, memikirkan atau merenungkannya, dan kemudian memeditasikannya. Dengan cara-cara ini, ia mampu mematangkan aliran-cita murid-murid yang tak terhitung lagi jumlahnya dan menetapkan banyak perbuatan yang mencerahkan.

Dari seluruh perbuatan yang tercerahkan dari raga, wicara, dan citanyam Tsongkhapa mengembangkan penguasaan tertinggi atas sifat-sifat baik dari wicara yang mencerahkan. Ajaran-ajarannya diramu dalam banyak jilid dari kumpulan karya-karyanya, mencakup seluruh pokok utama dari mahakarya-mahakarya Buddha dari India. Naskah-naskah yang dikarangnya adalah karya-karya utama yang kita pelajari sekarang. Ajaran-ajaran ini amat sangat jernih, amat sangat luas, dan amat sangat patut dianggap sebagai yang pratama. Ajaran-ajaran itu bagi kita ibarat jalan raya utama yang amat sangat mudah dijalani.

Di antara karya-karya ini, di sini kita punya satu naskah yang terdiri dari beberapa patah kata saja, namun dengan pokok masalah yang amat sangat luas. Naskah ini disebut Sokoguru bagi Sifat-Sifat Baik, dan merupakan hal yang menjadi perhatian kita di sini, hari ini.

Dorongan

Untuk mempelajari naskah ini dengan benar, penting bagi kita untuk memiliki sikap paling sempurna sebagai dorongan kita. Jika kita menyimaknya dan mempelajarinya hanya karena kita pikir bahwa akan ada semacam hal aneh di dalamnya atau karena rasa penasaran akal kita saja untuk menemukan sesuatu yang belum pernah kita dengar sebelumnya, itu serupa dorongan yang amat kecil, amat sepele. Jika kita menyimaknya agar mampu memperbaiki berbagai hal dalam masahidup sekarang ini dan menjalani segala sesuatu dengan baik-baik saja, ini pun merupakan lingkup pemikiran yang amat dangkal.

Kita mungkin sadar akan kehidupan masa mendatang dan kemungkinan terjerumus ke dalam salah satu tataran kelahiran kembali yang lebih buruk. Kita boleh jadi memikirkan semua duka dan masalah yang kita alami di sana, dan dengan demikian menjadi waspada akan kematian dan ketaktetapan. Mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan jatuh ke kelahiran kembali yang lebih rendah, kita mungkin menyimak ajaran-ajaran ini untuk menghindari hal semacam itu dan memperbaiki kehidupan-kehidupan kita di masa mendatang. Memiliki keprihatinan semacam itu sebagai dorongan kita pun bukan apa-apa.

Kalau kita renungkan tentang semua keadaan samsara yang berulang tak terkendali, yang tertinggi dari semua ini adalah kelahiran kembali sebagai sesosok dewa. Di antara kelahiran kembali semacam itu, kita bisa saja terlahir kembali sebagai dewa Indra, misalnya. Akan tetapi, sekalipun kita terlahir sebagai Indra, kita bisa saja melulu didera masalah dan duka. Jadi, karena menyadari hal ini, kita boleh jadi mengembangkan tataran cita yang dengannya kita berharap terbebas dari segala macam keadaan samsara yang berulang tak terkendali. Dorongan semacam ini pun tidaklah amat hebat.

Tiada yang lain yang bersikap lebih baik hati terhadap kita selain makhluk lain, makhluk berindera lain. Persis seperti kita ingin bahagia dan tak menginginkan masalah atau duka apapun juga, demikian pula setiap orang lain merasakan hal yang sama. Lebih lagi, kalau kita pikir-pikir, setiap orang telah baik pada kita dengan suatu atau lain cara. Oleh karena itu, benar sajalah kiranya kalau keprihatinan kita ditujukan pada semua makhluk baik tersebut. Kita lalu berpikir untuk mencoba membawa semua jenis kebahagiaan pada diri mereka dan memupuskan semua masalah dan duka mereka. Jika kita tanya diri kita apakah kita memiliki kemampuan untuk melakukan ini, dan jawabannya adalah "tidak", siapa lagi yang punya? Hanya seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan, seseorang yang seutuhnya bercita jernih dan sepenuhnya berkembang, yang memiliki kemampuan ini. Yang perlu kita lakukan, karena itu, adalah mencoba mencapai tataran seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan agar mampu memberi manfaat bagi semua makhluk sebanyak mungkin. Dengan dorongan tertinggi inilah kita perlu menyimak ajaran-ajaran ini. Kita perlu mengembangkan hati bodhicita yang sepenuhnya berbakti dan, dengan dorongan tersebut, menyimak ajaran-ajaran ini.

Kebesaran Sumber Ajaran-Ajaran

Cara paling bermanfaat untuk menyimak ajaran-ajaran Dharma melibatkan sejumlah langkah. Langkah pertama adalah menghargai kebesaran sumber dari sebuah ajaran. Ini tadi telah diacu saat kita memulai wacana ini. Sumber dari ajaran-ajaran ini adalah Buddha Shakyamuni. Buddha Shakyamuni, pertama sekali, membaktikan hatinya murni bagi yang lain dan untuk mencapai pencerahan – dengan kata lain, ia mengembangkan suatu tujuan bodhicita. Ia kemudian membina sebuah lumbung daya positif (sekumpulan pahala) yang luas dan berlimpah. Pada akhirnya, ia menjadi sepenuhnya tercerahkan dan menetapkan banyak perbuatan yang mencerahkan. Silsilah-silsilahnya berlanjut terus melalui Manjushri dan Maitreya, dan dari mereka ke Nagarjuna dan Asanga, dan kemudian pada akhirnya melalui Atisha turun ke Tsongkhapa. Inilah para guru silsilah dari tingkat-tingkat bertahap dari berbagai jalan cita (lam-rim), dan masing-masing dari mereka memiliki sebuah hikayat hidup yang mencerahkan. Hikayat-hikayat ini baik untuk dipelajari. Mungkin telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau, jika belum, bolehlah diterjemahkan. Jika saya masuk ke dalam rincian dari semua ini, akan sangat luas jadinya dan sukar diselesaikan.

Sumber utama dari ajaran ini adalah Tiga Kumpulan atau Tiga Keranjang ajaran-ajaran (Tripitaka), dan secara khusus, di dalam Kumpulan Sutra, Sutra-Sutra Prajnaparamita – Sutra-Sutra Kesadaran Pembeda Bercakupan Luas (Sutra-Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan). Berbagai sutra ini bicara langsung mengenai kehampaan (kekosongan) atau kenyataan, dan secara tidak langsung tentang berbagai tingkat dari pewujudannya. Tajuk ini diperbincangkan lebih jauh di dalam naskah-naskah yang datang dari Maitreya dan Asanga. Secara khusus, Abhisamayalamkara (mNgon-rtogs rgyan), Kerawang Pewujudan, membahas tingkat-tingkat ini, yang diturunkan dari berbagai pokok sutra-sutra dan shastra (naskah-naskah India yang menjelaskannya). Seiring berjalannya waktu, kita punya berbagai tinjauan dan naskah-naskah dari Tsongkhapa yang memperbincangkan lebih lanjut dan memekatkan pokok-pokok utamanya.

Jadi sumber-sumber utama bagi ajaran-ajaran dari naskah ini, Sokoguru bagi Sifat-Sifat Baik, adalah berbagai naskah yang barusan saya sebut tadi. Tsongkhapa menulis dua naskah yang lebih menyeluruh yang mengandung arahan-arahan mengenai tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan: Lam-rim chen-mo (Sebuah Penyajian Akbar atas Tingkat-Tingkat Bertahap dari Sang Jalan) dan Lam-rim chung-wa (Sebuah Penyajian yang Lebih Kecil dari Tingkat-Tingkat Bertahap dari Sang Jalan). Sokoguru bagi Sifat-Sifat Baik menggabungkan semua pokok-pokok utama yang diberikan Tsongkhapa di dalam penyajian akbar dan kecil dari tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan, dan menyusunnya supaya mudah dilakukan dan dipahami.

Menghindari Hambatan-Hambatan dalam Menjalankan Naskah ini

Agar berhasil menjalankan ajaran-ajaran dalam naskah ini, kita perlu menyingkirkan berbagai sikap yang akan berlaku sebagai hambatan – misalnya, berpikir bahwa ajaran-ajaran tertentu dari sang Buddha itu baik, sementara yang lain itu buruk. Jika demikian, kita membina daya-daya negatif luar biasa sehubungan dengan ajaran-ajaran Dharma dari Buddha dan ini akan menipiskan kemungkinan untuk berhasil. Ada yang menjatuhkan Wahana Sederhana Cita (Hinayana), dan yang lain berkata bahwa ajaran-ajaran Wahana Sederhana itu bagus, sementara ajaran-ajaran Wahana Besar (Mahayana) bukanlah kata-kata sang Buddha. Jika begini, keduanya meremehkan ajaran-ajaran itu sendiri. Ada juga yang, sekalipun menerima ajaran-ajaran Wahana Luas, mengatakan bahwa ajaran-ajaran tantra bukan pula kata-kata sang Buddha. Dengan begitu, mereka merendahkan ajaran-ajaran tersebut. Perbuatan semacam itu meruntuhkan semua kemungkinan keberhasilan.

Kita mesti selalu ingat pokok-pokok yang amat penting dari ajaran-ajaran Wahana Sederhana. Misalnya, Wahana Sederhana mencakup beragam ajaran tentang ketaktetapan dan tentang empat penempatan kewaspadaan ketat – cara-cara untuk menempatkan kewaspadaan kita ketat pada empat jenis sasaran yang berbeda. Pokok-pokok ini amat sangat penting dan kita semua mesti menyadari dan melaksanakannya.

Ada beberapa yang melihat ajaran-ajaran Wahana Luas dalam kerangka arahan-arahannya mengenai perilaku dan tindakan dari para bodhisatwa yang berbakti. Lalu mereka melihat ajaran-ajaran Wahana Sederhana dalam kerangka penekanannya atas latihan dalam aturan-aturan Vinaya dari tertib-diri berbudi pekerti. Mereka kemudian meninggalkan yang satu atau yang lainnya, karena berpikir bahwa dua perangkat ajaran tersebut tidak akan cocok selaras bersama. Sikap syakwasangka semacam itu juga meruntuhkan segala kemungkinan keberhasilan.

Kita mesti menyadari bahwa semua pokok-pokok dalam ajaran-ajaran Buddha ini perlu dilaksanakan secara setara, dan sesuai urutannya. Bila kita mengikuti ajaran-ajaran tersebut secara terukur dan bertahap, ini memudahkan kita untuk menyadarinya. Ini karena kesadaran akan ajaran-ajaran tersebut muncul lewat urutan bertahap yang benar. Mengikuti cara yang demikian ini membuat kita mampu memanfaatkan sepenuhnya dasar-dasar karya dari kehidupan manusia kita yang mulia dengan segala jeda dan pengayaan laku Dharma, dan meraih tataran tercerahkan.

Ikatan Sepenuh Hati dengan Guru Rohani

Untuk mampu mengikuti jalan bertahap ini, penting bagi kita untuk tahu apa akarnya, yang melaluinya ia menyerap segala santapan. Akarnya adalah mengikuti arahan-arahan guru rohani yang sempurna, yang mengetahui segala sesuatu mengenai jalan cita ini, tanpa ada satu kesalahan pun. Pembimbing atau rekan rohani adalah dasar andalan untuk mampu mencapai semua sifat baik. Malah, keberhasilan kita sepenuhnya bergantung pada orang tersebut.

Lebih lagi, seorang guru rohani yang merupakan seorang Buddha, sosok yang seutuhnya tercerahkan, saja tidak dengan sendirinya menjadi sebuah pertolongan khusus bagi kita. Akan tetapi, yang menolong kita, dalam hal laku kita sebagai seorang murid, adalah mampu mengenali bahwa guru rohani kita merupakan makhluk tercerahkan. Itulah pokok dari laku mengenali bahwa guru rohani kita merupakan seorang Buddha. Karena kemampuan ini merupakan akar yang akan membawa keberhasilan di dalam jalan ini, amat sangat penting untuk terlebih dahulu menyelidiki dengan teliti guru rohani itu sebelum kita mempercayakan dan mengikat diri kita padanya.

Penyelidikan dan telaah yang dimaksud bukan seperti menjalankan pengujian kesehatan di rumah sakit Barat. Bukan uji ragawi. Yang kita periksa adalah apakah orang tersebut telah menjalani tiga latihan lebih lanjut: dalam tertib-diri berbudi-pekerti, daya pemusatan terserap, dan kesadaran pembeda (kebijaksanaan). Apakah orang tersebut berhati hangat dan lembut? Apakah orang tersebut punya kebijaksanaan dan daya pembedaan yang luar biasa? Inilah hal-hal yang perlu kita selidiki. Dan kalau orang tersebut memiliki sifat-sifat itu, lalu patutlah kita mempercayakan dan mengikat diri sepenuh hati padanya.

Tapi penyelidikan ini bukanlah sesuatu yang mesti kita lakukan setelah kita mengikat diri kita pada seorang guru rohani. Kita mesti melakukannya terlebih dahulu. Jika kita tidak hati-hati, sekali kita mengikat diri pada seorang guru rohani dan kita berpaling dari ikatan tersebut dan kehilangan segala kepercayaan, ganjarannya bisa jadi sangat mengerikan dan mendatangkan petaka bagi kita. Contohnya, jika, selama masa hidup sekarang ini, kita telah melakukan tindakan yang amat sangat merusak, katakanlah salah satu tindak kejahatan keji, kalau kita secara terbuka dan jujur mengakui kesalahan dan menerapkan semua daya tandingan yang sesuai, adalah mungkin bagi kita untuk memurnikan diri dari daya negatif yang telah kita bina. Atas dasar itu, kita dapat mencapai pencerahan dalam masa hidup sekarang ini. Tapi jika, setelah mengikat diri sepenuh hati pada seorang guru rohani, lalu kita berpaling dari ikatan kita itu, memutus hubungan dan kehilangan semua rasa percaya, ada bahaya hebat bahwa kita tidak akan mampu jadi tercerahkan di dalam masa hidup kita.

Bagaimana kita mengikat diri? Kita mengikat diri kita dengan pikiran dan tindakan kita. Cara kita mengikat diri dengan pikiran kita adalah dengan mengembangkan "akar" dari ikatan itu, yaitu keyakinan pada kebenaran suatu fakta. Ada tiga cara meyakini sebuah fakta itu benar: yakin dengan kepala jernih, yakin dengan cita-cita atas hal itu, dan yakin atas dasar nalar. Terlepas dari yang mana yang kitamampu, kita mesti mengembangkan keyakinan dan kepercayaan pada fakta bahwa guru rohani kita sudah pasti seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan.

Berbagai manfaat dapat kita peroleh dari ikatan sepenuh hati dengan pikiran kita ini dan banyak mudarat serta petaka yang muncul karena pemutusan ikatan ini. Ini pokok-pokok bahasan yang sangat luas, yang terlalu terperinci untuk saya paparkan di sini. Tapi Anda sekalian punya guru-guru di sini yang dapat menjadi tempat Anda mempelajari hal-hal ini. Anda mesti mempelajarinya dengan hati-hati, karena pokok-pokok tersebut amat sangat penting.

Untuk perihal cara mengikat diri dengan tindakan-tindakan kita, meski ada banyak, pokok utamanya ialah mengikuti ajaran-ajaran dan arahan-arahan sama persis seperti yang diberitahukan guru rohani kita. Dalam lingkung ini, hal utamanya ialah menjaga tertib diri yang berbudi pekerti yang ketat dalam menghindari kesepuluh tindakan merusak (tindakan-tindakan tak bajik) dan dalam berperilaku dengan patut. Inilah cara terbaik untuk mengikat diri sepenuh hati dengan guru rohani kita lewat tindakan-tindakan kita.

Kembali ke cara kita mengikat diri dengan pikiran kita, kita tidak hanya perlu mengembangkan, sebagai akar kita, keyakinan pada kebenaran fakta, kita juga perlu mengembangkan rasa hormat yang luar biasa dengan terus-menerus waspada pada kebaikan guru rohani kita. Jadi, amatlah penting untuk mengingat kebaikannya.

Seperti tadi dijelaskan, Buddha Shakyamuni, lewat perbuatan-perbuatannya yang tak terbayangkan luar biasa, mampu mematangkan aliran-cita banyak murid. Tapi kita tidak mampu untuk lahir pada masa itu, sehingga kita tak mampu untuk bertemu dengan pancaran agung ini, sang Buddha Shakyamuni. Sekalipun ada makhluk tercerahkan yang muncul ini hari dengan tiga puluh dua perangkat raga besar dan delapan puluh perangkat raga kecil, kita bisa jadi belum membina daya positif atau karma untuk mampu bertemu dengan makhluk semacam itu. Akan tetapi, yang betul-betul kita miliki adalah kemampuan untuk bertemu dengan para guru rohani yang dapat mengajar kita dalam bentuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kita. Oleh karena itu, dalam keadaan yang menyedihkan semacam ini, guru rohani kita sudah amat sangat baik hati mengajar kita.

Karena kita semua ingin bahagia dan tidak memiliki permasalahan ataupun duka, kita perlu membina sebab-sebab yang akan berbuah kebahagiaan. Guru rohani menunjukkan langkah-langkah pencegahan, dalam urutan yang bertahap, yang akan memungkinkan kita untuk mencapai hal ini. Ia mengajarkan berbagai cara sedemikian rupa sehingga kita tidak harus menjalani kesukaran dan kesulitan yang amat dahsyat. Kalau kita menjalankan cara-cara ini, maka lambat-laun kita akan mampu memperoleh pengalaman meditasi dan kesadaran yang sebetulnya. Atas dasar itu, kita akan betul-betul mampu bertemu dengan seorang Buddha dan mampu pula menerima ajaran dan latihan. Ini sesuatu yang terjadi pada titik saat kita telah mencapai tingkat kesadaran yang agak tinggi. Tapi sekarang pada titik ini, ketika kita berada pada keadaan yang jauh lebih menyedihkan, ada para Buddha yang mewujud dalam diri para guru rohani dalam rupa yang lebih sesuai dengan kita dan dapat berhubungan dengan kita.

Kalau kita renungkan pokok-pokok ini, kita akan menyadari betapa baiknya guru rohani kita itu. Coba timbang seperti apa rasanya berada di dalam keadaan yang membuat kita amat putus asa dan butuh pertolongan. Misalnya, kalau kita tak punya makanan dan akan mati kelaparan, atau kalau kita tak punya pakaian dan suhu udara dingin menggigit dan kita akan mati beku. Orang yang memberikan makanan dan pakaian pada kita di waktu seperti itu adalah orang yang amat sangat baik hati. Tapi kalau kita sudah kaya raya, punya sejumlah besar harta benda, pendidikan yang bagus, dan punya banyak keterampilan serta sifat baik, pemberian makanan dan pakaian dari orang lain kepada kita bukanlah suatu perbuatan yang luar biasa. Tidak menjadi kebaikan yang luar biasa bagi kita.

Jadi, kalau kita tanya apa alasan sebenarnya kita mesti mampu mengenali bahwa guru rohani kita benar-benar seorang Buddha yang tercerahkan sepenuhnya dan kalau kita tanya mengapa kita perlu mengikat diri sepenuhnya pada tindakan dan pikiran kita, inilah alasannya: Alasan dasar, pokok hakikinya, ialah bahwa kita perlu mampu mencapai pencerahan lewat apa yang diajarkan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, jika kita pikirkan, guru rohani mengajarkan kepada kita semua jalan cita dan laku bertahap yang akan membawa kita ke suatu tataran pencerahan. Ini adalah kegiatan mencerahkan yang dilakukan seorang Buddha dan oleh karenanya guru rohani kita adalah seorang Buddha jika ditilik dari sudut pandang perbuatannya menjalankan kegiatan seorang Buddha. Inilah kebaikan luar biasa dari guru rohani kita yang mesti kita ingat dan hargai sepenuhnya.

Ada banyak pembicaraan tentang yoga-guru, laku untuk menyatukan diri kita dengan guru rohani. Ini laku yang amat penting yang dijumpai dalam keempat aliran ajaran Buddha di Tibet. Tak ada yang tak selaras di dalamnya; keempatnya sepakat mutlak perihal ikatan sepenuh hati dan sehat dengan seorang guru rohani.

Jadi, ayat pertama dari naskah tersebut adalah:

(1) Penyandaran diri (yang sehat) pada guru rohani, sokoguru bagi sifat-sifat baik, akar dari pelbagai ajaran. Menyadari hal ini, aku memohon ilham untuk bersandar dengan penghargaan mendalam, lewat berbagai upaya.

Ayat ini mencakup pokok dari ikatan sepenuh hati dengan guru rohani, atau yang disebut dengan "bakti-guru". Ini penting pada awal, tengah, dan akhir jalan kita. Di awal, ia merupakan hal paling hakiki yang akan bertindak sebagai titik luncur bagi laku kita. Selama menjalankan laku, ia menjadi akar untuk mampu memperoleh seluruh sifat baik. Di akhir, pemerolehan kita atas penyelesaian dari semua jalan cita ini pun bergantung pada ikatan sepenuh hati dengan guru rohani kita. Maka dari itu, ikatan yang sehat dan patut itu hakiki sifatnya di sepanjang jalan mencapai pencerahan.

Tidak peduli kita itu terlibat dalam atau menginginkan hal-hal keduniaan apa saja, kita butuh seseorang yang mumpuni untuk menunjukkan pada kita cara melakukannya. Jika demikian, maka untuk mencapai suatu tataran yang melampaui semua hal duniawi yang akan punah itu, guru rohani – seorang pembimbing atau rekan rohani yang mumpuni – jelas semakin diperlukan untuk menunjukkan pada kita caranya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempercayakan dan mengikat sepenuh hati diri kita ini pada orang semacam itu dan tidak memutus ikatan ini atau berpaling darinnya. Maka, bait pertama dari naskah ini membahas suatu pokok yang amat sangat genting nan penting yang merupakan inti bagi keberhasilan kita di keseluruhan laku kita ini.

Dasar Karya: Kelahiran Kembali Manusia yang Mulia

Memiliki ikatan yang sehat dan sepenuh hati sebagai dasarnya dan kemudian lanjut dengan jalan cita yang sebenarnya, pokok bahasan berikutnya ialah penghargaan terhadap dasar karya sempurna yang kita punya – sebuah kelahiran kembali manusia yang mulia yang sepenuhnya dikaruniai dengan segala jeda dan pengayaan laku Dharma, dan betapa sukarnya untuk memperoleh kelahiran kembali semacam ini, dan seterusnya. Empat baris berikutnya dari ayat tersebut menyajikan pokok bahasan dimaksud:

(2) Dasar karya yang unggul ini, bersama dengan jedanya, yang disua hanya sekali, sukar diperoleh. Menyadari betapa pentingnya hal ini, aku memohon ilham untuk mengembangkan tanpa gangguan sebuah sikap untuk menyerap intisarinya dengan segala cara, siang dan malam.

Ada banyak manusia dan orang-orang bermacam-macam ragamnya. Jenis dasar karya khusus yang kita punyai, sebagai manusia yang sepenuhnya dikaruniai, merupakan sesuatu yang bahkan lebih hebat dari dasar karya sebagai seorang manusia biasa. Malah, raga manusia yang kita miliki ini bukanlah sesuatu yang berada di bawah kendali kita. Pada saat kematian, kita akan kehilangan raga tersebut dan tak ada cara untuk tahu di mana atau sebagai apa kita akan terlahir kembali. Maka, umumnya, sukar sekali untuk memperoleh raga manusia apapun jenisnya.

Kalau kita tanya mengapa sukar sekali untuk mencapai raga manusia, alasannya ialah karena kita harus membina sebab-sebab untuk kelahiran kembali semacam itu. Sebab utamanya ialah pembinaan selumbung atau jaringan daya positif yang luar biasa melimpah dengan syarat mengikuti budipekerti yang ketat. Jika kita lihat sekeliling pada mereka yang bersifat membangun dan positif, dibandingkan mereka yang negatif dan merusak, kita dapat dengan mudah melihat sendiri pihak mana yang paling banyak anggotanya. Juga, jika kita terbang mengelilingi dunia dengan pesawat dan melihat ke bawah, akan tampak jelas pasti bahwa sebagian besar bumi ini terdiri dari samudera. Samudera-samudera ini berisi berbagai macam jenis kehidupan laut, dan tak satupun di antaranya yang memiliki raga manusia. Kalau kita lihat semua negara di darat dan semua orang di dalam negara itu, dan jika kita mencoba mencari mereka yang berminat mendatangkan manfaat bagi kehidupan masa mendatang dan selanjutnya, orang-orang semacam itu amat sangat langka adanya. Ini suatu hal yang kita semua bisa lihat sendiri; cukup jelas terpampang. Contohnya saja, negara ini. Ada sedikit sekali orang di negara ini yang dengan tulus berminat mendatangkan manfaat bagi kehidupan masa mendatang mereka dan pada laku rohani pengambilan langkah-langkah pencegahan Dharma supaya memunculkan kelahiran kembali di masa mendatang sebagai manusia. Ini suatu hal yang lumrah kita lihat.

Oleh karena itu, terlahir kembali sebagai manusia yang menaruh minat pada hal-hal rohani dan pada perbaikan kehidupan masa mendatang itu merupakan sesuatu yang amat sangat langka dan sukar untuk digapai. Karenanya, fakta bahwa kita telah terlahir kembali sebagai manusia yang sepenuhnya dikaruniai merupakan suatu hal yang mulia dan langka dan begitu sukar diperoleh. Kita mesti merasa amat bahagia karenanya.

Alasan merasa bahagia karena suatu kelahiran kembali manusia yang mulia itu adalah karena hal itu amat sangat penting: banyak hal dapat dicapai atas dasar itu. Ada orang yang menggunakan kehidupan mereka sebagai manusia untuk mencoba mendapat sejumlah besar kekayaan, harta benda dan uang untuk masa hidup sekarang ini. Menghabiskan hidup dengan cara demikian tak dapat dianggap sebagai penggunaan penting dari kesempatan yang mereka miliki. Maka dari itu, jika kita menempatkan semua tenaga kita sekadar untuk mendapatkan segala sesuatu untuk dimakan dan mengadakan kebutuhan bendawi kita, ini juga hal yang sama dengan yang dilakukan hewan. Jadi tidak ada bedanya, tidak pula membuat kita lebih baik dari mereka. Bahkan hewan paling tak berarti, seperti seekor tikus kecil sekalipun, cukup mampu untuk mencari makan.

Apa itu hal yang lebih luar biasa yang dapat kita capai di atas dasar kelahiran kembali manusia yang mulia yang kita miliki? Kita bisa mengambil berbagai langkah-langkah pencegahan Dharma yang akan membuat kita tidak jatuh ke tataran kelahiran kembali yang lebih buruk di kehidupan kita di masa mendatang. Ini suatu hal yang sungguh bisa kita lakukan; suatu kegunaan yang bisa kita perbuat di atas dasar karya kelahiran kembali manusia yang mulia yang kita punya. Lebih jauh, di atas dasar kelahiran kembali manusia yang mulia, adalah mungkin bagi kita untuk menjauhkan diri dari segala jenis duka berulang tak terkendali. Ini juga hal yang dapat kita capai di atas dasar kelahiran kembali manusia yang mulia yang kita miliki. Kita tidak hanya dapat memunahkan segala permasalahan dan duka kita, kita juga mungkin mencapai kemampuan untuk melenyapkan permasalahan dan duka setiap orang lain pula. Kita dapat mencapai tataran bercita jernih seutuhnya dan berkembang sepenuhnya dari seorang Buddha yang tercerahkan di atas dasar kelahiran kembali manusia yang mulia. Ini suatu hal yang juga dapat kita lakukan.

Pokok utama untuk diingat di sini ialah mampu mendatangkan manfaat bagi semua makhluk dan untuk mencapai tataran pencerahan yang memampukan kita untuk melakukannya sebaik-baiknya. Di dalam lingkung itu, kita perlu memikirkan pokok-pokok dalam ajaran mengenai kelahiran kembali manusia yang mulia kita ini, kematian, dan ketaktetapan. Kita perlu menjalankan berbagai cara Dharma untuk memastikan bahwa kita tidak terlahir kembali dalam salah satu tataran yang lebih buruk.

Saat kita membuat lukisan seorang Buddha, sejak awal kita punya gambaran utuh seorang Buddha di dalam cita kita. Sama juga dengan latihan-latihan Dharma ini, kita ingat-ingat betul, sedari awal, tujuan puncak mencapai suatu tataran pencerahan untuk mampu mendatangkan manfaat bagi semua makhluk. Kita kemudian menjalani seluruh latihan, sedari awal, dengan kesadaran itu.

Kita punya hari dan malam untuk digunakan dan kita mesti menggunakannya untuk melakoni segala daya upaya kita untuk memanfaatkan hakikat kehidupan manusia yang mulia ini. Apa itu hakikat kehidupan? Pokok hakiki dari kehidupan ialah bahwa kita bisa mencapai suatu tataran yang sepenuhnya tercerahkan dari seorang Buddha untuk mampu mendatangkan manfaat bagi setiap orang. Inilah pokok yang paling hakiki dari hidup sebagai manusia yang sepenuhnya dikaruniai. Ini adalah suatu hal yang perlu kita coba jaga dalam pikiran kita setiap waktu dan tak pernah lepas kita sadari.

Kita mesti merasa amat sangat bahagia karena hidup sebagai manusia dengan segala jeda dan pengayaan yang memungkinkan kita menjalani laku Dharma untuk mencapai pencerahan. Kemudian, di dalam tataran kebahagiaan atas kesempatan-kesempatan yang kita punya ini, kita mesti mencoba untuk berhati hangat dan baik. Kita dapat mengembangkan hati yang berbakti pada yang lain dan untuk mencapai pencerahan. Kita bisa lakukan segala daya upaya kita untuk mencoba menolong dan mendatangkan manfaat bagi setiap orang, dan tidak melukai siapapun juga.

Ringkasan

Hari ini saya telah membahas akar dari seluruh jalan cita, yaitu ikatan sepenuh hati dengan seorang guru rohani. Saya telah pula membahas sukarnya menemukan kelahiran kembali manusia yang mulia dengan segala jeda dan pengayaannya untuk mencetak kemajuan. Saya telah menjelaskannya dalam rupa pengantar persiapan yang ringkas, bahan utama yang sesungguhnya, dan sebuah tinjauan persembahan di akhir penyajian saya.

Mengenai apa yang dapat diperoleh di atas dasar kemanusiaan yang kita punya ini, ada tujuan sementara dan hakiki yang dapat kita capai. Pada tingkat sementara atau permukaan, yang mungkin dapat dicapai ialah kelahiran kembali sebagai manusia dengan kesempatan-kesempatan luar biasa lagi, dan juga terlahir kembali sebagai seorang dewa. Lebih jauh, pada tingkat hakikinya, yang mungkin dapat dicapai ialah suatu tataran kebebasan maupun pencerahan, juga di atas dasar kehidupan manusia yang mulia yang kita miliki. Jadi, ditinjau dari sudut pandang sementara dan hakiki, memiliki kehidupan manusia yang mulia itu amat sangat genting sifatnya. Karena itu, penting bagi kita untuk memeditasikan semua pokok ini dan membina kesadaran dan pemahaman atasnya sebagai kebiasaan yang bermanfaat dari cita kita.

Top