Hubungan antara Ajaran Buddha dan Sufi

Disunting kembali dari “Tanggapan terhadap Majid Tehranian”, sebelumnya diterbitkan dengan catatan kaki panjang dalam “Islam and Inter-faith Relations: The Gerald Weisfeld Lectures 2006”, ed. Lloyd Ridgeon dan Perry Schmid-Leukel: SCM Press, 2007, 256-61.

Peradaban global dan tanggung jawab universal bergantung pada dialog bermakna di antara agama-agama di dunia, seperti antara Buddha dan Islam. Dialog semacam ini bisa terjadi pada tingkat pemuka agama maupun masyarakat umum. Selain itu, dialog juga bisa dilakukan pada tingkat yang bersifat umum maupun perincian khusus yang tercatat dengan baik.

Akan tetapi, pemuka dan pengikut agama Buddha maupun Islam di masa lalu telah begitu abai akan keyakinan satu sama lain. Keadaan ini perlahan-lahan telah berubah di masa kini, tetapi masih membutuhkan usaha yang lebih besar. Dalam konteks ini, internet menjadi media yang semakin bernilai dalam menyebarkan informasi dan berdialog, terutama di antara masyarakat, dan terutama lagi di antara orang muda. Namun, pengguna internet dihadapkan pada kesulitan dalam menemukan sumber informasi yang tepercaya dan tidak memihak di tengah lautan informasi yang kadang saling bertentangan. Dalam menghadapi tantangan ini, rangkuman mengenai kemiripan di antara ajaran Sufi dan Buddha adalah pilihan yang tepat terkait hal-hal yang bersifat umum, tetapi tetap perlu dilengkapi dengan uraian terperinci tentang kasus-kasus khusus, untuk menghindari kesalahpahaman.

Sebagai contoh, peradaban Buddha dan Islam di Asia Tengah telah saling bersinggungan selama lebih dari seribu tahun, dan pada kurun waktu tersebut,  ajaran Sufi telah berkembang dan menyebar di dunia Islam. Akan tetapi, fakta bahwa ajaran Sufi dan Buddha berkenaan dengan persoalan-persoalan yang serupa tidak mengarah pada kesimpulan bahwa salah satunya pasti memengaruhi yang lain dalam merumuskan pandangan tentang persoalan ini. Namun, ini tidak mengurangi kemungkinan bahwa gagasan-gagasan tertentu bisa dipinjam oleh agama tertentu dari agama yang lain. Tapi, pernyataan mengenai peminjaman semacam itu perlu digambarkan dengan tepat dan terperinci supaya bisa dipercaya. Bagaimanapun juga, ajaran Sufi dan Buddha memiliki sejarah panjang, cakupan geografis luas, dan keberagaman aliran dan guru, yang memiliki pernyataannya masing-masing.

Contohnya, Abu Yazid Bistami (804-874 M) mengenalkan konsep fana dan khud’a ke dalam ajaran Sufi karena pengaruh gurunya, Abu ‘Ali al-Sindi. Fana berarti berhenti mengada – hancur-leburnya ego diri dalam proses menyatu dengan Allah; khud’a berarti tipuan atau muslihat, sebagai gambaran dari dunia kebendaan. Dalam Hindu and Muslim Mysticism, R. C. Zaehner secara meyakinkan berpendapat bahwa al-Sindi, yang telah pindah dari agama lain, kemungkinan besar mengambil konsep fana dari Chandogya Upanishad dan konsep khud’a dari Svetashvetara Upanishad, sebagaimana ditafsirkan oleh pendiri Advaita Vedanta, Shankara (788-820 M). Semua bentuk ajaran Buddha berhubungan dengan topik serupa, yaitu nirwana – pembebasan dari kelahiran kembali yang berulang – dan banyak aliran Mahayana menyatakan bahwa dunia lahir itu serupa, kendati tidak sama, dengan maya (ilusi), kecil kemungkinan bahwa rumusan-rumusan tersebut berperan dalam perkembangan pemikiran Sufi.

Di sisi lain, kita bisa menemukan contoh-contoh peminjaman cerita dari ajaran Buddha ke dalam ajaran Sufi. Misalnya, perumpamaan tentang sekelompok orang buta yang menggambarkan seekor gajah secara berbeda-beda karena masing-masing memegang bagian yang berlainan dari tubuh hewan tersebut, masuk ke dalam ajaran Sufi melalui tulisan cendekiawan Persia, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M). al-Ghazali, yang merupakan pendukung sikap keraguan (skeptisisme) filosofis, menggunakan perumpamaan ini untuk menggambarkan betapa para agamawan Islam hanya memiliki penggalan kebenaran saja, sedangkan Buddha menggunakannya dalam Sutta Aliran-Aliran Tan-Buddha (Pali: Tittha Sutta) untuk menunjukkan kesia-siaan para fisuf tan-Buddha yang saling memperbantahkan pandangan mereka.

Pengaruh lain ajaran Buddha terhadap ajaran Sufi terdapat dalam laku upacara, khususnya selama kekuasaan Mongol Ilkhan di Iran, (1256-1336 M). Lima dari enam pemimpin Ilkhan adalah pengikut agama Buddha Tibet, kecuali Ahmad Teguder (berkuasa 1282-1284 M). Ilkhan keenam, Ghazan (berkuasa 1295-1304 M), masuk ke Islam atas bimbingan guru Sufi Syiah, Sadr ad-din Ibrahim. Sejak saat itu, berkembangnya pemujaan terhadap makam para orang kudus Sufi mungkin dipengaruhi oleh pemujaan umat Buddha terhadap bangunan stupa.

Hal-hal yang dipinjam dari ajaran Buddha ke dalam Islam tidak terbatas pada ajaran Sufi saja. Untuk hal ini, Maniisme, agama besar lainnya di Asia Tengah, sering menjadi jembatannya. Satu contoh yang mungkin adalah catatan kehidupan-kehidupan lampau Buddha sebagai seorang bodhisattwa, yang dikenal dalam sumber-sumber Kristen abad pertengahan sebagai Barlaam dan Josaphat. Banyak diketahui bahwa versi Sogdia Mani atas catatan-catatan ini ditulis sebelum kemunculan pertamanya dalam bahasa Arab sebagai Kitab Bilawhar dan Yudasaf, yang disusun oleh Aban al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Versi Islam ini memasukkan bagian-bagian dari catatan berbahasa Arab tentang kehidupan-kehidupan lampau sang Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab al-Budd), yang juga ditulis pada masa itu, berdasarkan terjemahan bahasa Arab dari dua naskah Sanskerta, Tasbih Catatan Kehidupan Lampau (Skt. Jatakamala) dan karya Ashvaghosha berjudul Perbuatan-Perbuatan sang Buddha (Skt. Buddhacarita). Karena naskah al-Lahiki tidak lagi tersedia, menjadi tidak jelas berapa banyak bahan yang juga ia masukkan ke dalamnya dari sumber-sumber ajaran Mani. Kalaupun memang ada, kemungkinan besar itu mendapat pengaruh dari dialog antara cendekiawan Buddha dan Muslim Mani yang terjadi pada masa itu di dalam kerajaan Abbasiyyah.

Selain itu, ajaran Buddha yang dipinjam ke dalam peradaban Islam tidak terbatas pada wilayah agama atau sastra saja, tapi juga pengobatan. Keluarga Barmakiyyah memainkan peranan penting di dalam perkembangan ini. Perdana Menteri selama kekuasaan khalifah Abbasiyyah keempat, Harun al-Rashid (berkuasa 786-809 M), adalah Yahya ibn Barmak, cucu Muslim dari salah satu kepala Wihara Nava di Balkh, Afghanistan. Meskipun pada saat itu cendekiawan Buddha telah hadir di Rumah Pengetahuan di Baghdad, Yahya tetap mengundang lebih banyak cendekiawan Buddha, terutama dari Kashmir. Akan tetapi, tidak ada naskah filsafat Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atas dukungan Yahya. Alih-alih, perhatiannya adalah penerjemahan naskah pengobatan Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab, terutama Samudera Pencapaian (Skt. Siddhasara) karya Ravigupta.

Bagaimanapun juga, persoalan yang lebih pelik dari peminjaman ajaran agama, sastra, dan ilmu adalah persoalan etika bersama sebagai dasar bagi peradaban global dan tanggung jawab universal. Sebagai contoh, Sudan, Pakistan, Iran, dan Arab Saudi mengkritik Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang ditandatangani di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948, karena tidak memasukkan nilai-nilai agama dan budaya non-Barat. Keberatan mereka bermuara pada lahirnya Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang ditandatangani pada 1990 oleh para menteri dari 48 negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam. Kesepakatan ini hanya mengakui hak asasi manusia yang sesuai dengan Hukum Islam, Syariah.

Sebagai cara menilik semangat Syariah, ajaran Sufi menekankan tarekat, jalan laku mistis yang berujung pada hakikat, kebenaran sejati. Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak menganggap bahwa, karena ajaran Sufi menghindari fundamentalisme, ia dapat menjadi jembatan antara Islam dan Buddha untuk ranah etika. Beragam aliran Sufi mungkin hadir di banyak negara Islam saat ini, tetapi fakta bahwa semua negara Islam menandatangani Deklarasi Kairo menandakan bahwa dasar etika apa pun bagi peradaban global ataupun tanggung jawab universal perlu menyertakan hukum Syariah. Oleh karena itu, sebagai dasar untuk dialog lebih lanjut dalam merumuskan etika semacam itu, penting untuk menelaah dan menemu-kenali secara teliti pokok-pokok etika yang sama-sama dimiliki agama-agama di dunia, termasuk oleh sistem yang sekuler.

Boleh jadi memang ajaran Sufi dapat menjembatani ketertarikan umat Buddha dan Muslim untuk saling belajar. Akan tetapi, dalam menemukan pokok-pokok bersama di antara dua agama ini, penekanan pada mistisisme tidak akan membantu. “Mistisisme” adalah istilah teknis yang terutama digunakan dalam sistem keyakinan akan Tuhan sebagai cara untuk mencapai semacam persatuan gaib dengan Tuhan.

Istilah semacam ini tidak relevan bagi agama Buddha. Yang lebih relevan adalah pentingnya guru rohani dan cara-cara meditasi, seperti cara tertentu untuk mengembangkan rasa kasih, latihan pernapasan, pengulangan mantra dan zikir, serta pembayangan. Namun, topik-topik seperti ini mungkin akan menarik dan relevan bagi sebagian kecil umat Buddha dan Muslim saja, dan tidak bagi kalangan umat tradisional di kedua agama.

Dengan demikian, selain informasi dan kajian perbandingan terkait Buddha dan Islam yang tersedia baik secara cetak maupun daring, liputan media yang luas tentang kegiatan lintas-iman yang diadakan para pemuka agama, bukan hanya dua agama ini tetapi sebanyak mungkin agama, akan dapat memberikan pengaruh lebih besar dalam usaha membangun kerukunan agama, peradaban global, dan tanggung jawab universal.

Top