Beberapa Ciri Kesamaan Agama Islam dan Buddha

Sebuah Percakapan dengan Dr. Snjezana Akpinar dan Dr. Alexander Berzin

Banyak orang di Barat yang abai dan takut terhadap Islam. Dengan harapan meluruskan beberapa kesalahpahaman umum dan menjelajahi gema antara Islam dan Buddha, Inquiring Mind mengatur sebuah percakapan antara Dr. Alexander Berzin dan Dr. Snjezana Akpinar. 

Dr. Berzin tinggal selama 29 tahun di Dharamsala, India, tempat ia sesekali melayani sebagai penerjemah lisan untuk Yang Mulia Dalai Lama. Ia kini tinggal di Berlin, Jerman, tempat ia mengajar meditasi dan filsafat Buddha Tibet. Dalam perjalanannya keliling dunia sambil memberikan kuliah, Dr. Berzin telah menjelajahi hubungan sejarah antara umat Buddha dan Islam. Dalam melakukan penelitian untuk buku sejarah daringnya, The Historical Interaction between the Buddhist and Islamic Cultures before the Mongol Empire (Hubungan di Masa Lalu antara Kebudayaan Buddha dan Islam Sebelum Kekaisaran Mongol), ia telah memberikan kuliah di universitas-universitas di Turki, Yordania, dan Mesir serta berbicara dengan para cendekiawan di Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Kazakhstan.

Ajaran yang diterapkan Dr. Akpinar secara praktis adalah ajaran Buddha, tapi kajian-kajiannya bertitik pusat pada agama Islam. Ia berasal dari Republik Kroasia di bekas Negara Yugoslavia; ayahnya, seorang cendekiawan Buddha ternama, pergi ke Sri Lanka di usia tua dan menjadi seorang biksu. Dr. Akpinar menghabiskan separuh minggunya di Kota Sepuluh Ribu Buddha, sebuah Biara Buddha Cina di California Utara, mengajarkan pada umat Buddha tentang Barat, dan separuh minggu sisanya di Graduate Theological Union di Berkeley, menawarkan kursus-kursus tentang Islam dan agama perbandingan, mengajarkan pada umat Kristen tentang Timur.

Dr. Berzin, Anda telah banyak menyajikan ajaran Buddha kepada dunia Islam. Apa yang Anda tekankan saat menyajikannya, dan bagaimana ajaran itu diterima?

Dr. Berzin (AB): Pendekatan yang saya gunakan adalah sikap mau belajar dari para khalayak Muslim. Saya telah menjelaskan pada mereka bahwa saya pikir Islam telah cukup parah disalah-wakilkan dalam sejarah-sejarah baku – yang pada dasarnya dikisahkan orang Muslim meringsek masuk ke dalam kebudayaan Buddha dan meluluh-lantakkan semuanya. Sesungguhnya, terdapat hubungan panjang yang bersifat sangat membangun antara agama Buddha dan Islam. Saat Anda melihat sisi-sisi rusaknya, tampak bahwa hal ini utamanya didorong oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan politis, bukan agama. Jadi, saya meminta penjernihan bagi hubungan sejarah ini.

Secara alami, hal ini lalu memancing khalayak Muslim untuk bertanya tentang ajaran Buddha. Di berbagai lembaga teologis yang telah saya kunjungi di dunia Islam, para cendekiawan Islam sangat tertarik dalam pembahasan menyeluruh tentang Tuhan. Saya telah ketahui dari pengalaman saya di Indonesia, yang merupakan sebuah negara dengan sebagian besar penduduknya Muslim, bahwa tak mungkin Anda berkata pada sekumpulan khalayak Islam, “Agama Buddha tak percaya pada Tuhan. ” Hal itu akan segera menutup pintu masuknya. Di Indonesia, ada sebuah kebijakan bahwa lima agama diakui karena keyakinannya pada Tuhan: Hindu, Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Umat Buddha Indonesia telah menyarankan kepercayaan ajaran Buddha terhadap Tuhan dengan mengajukan Adibuddha, yang berasal dari ajaran Kalacakra (Lingkar Waktu), yang telah tersebar di Indonesia sedikit lebih dari seribu tahun yang lalu. Secara harfiah, Adibuddha berarti Buddha pertama atau adi. Umat Buddha Indonesia sendiri tidak memiliki pemahaman penuh tentang Adibuddha. Tapi, tanpa menjelaskannya, mereka berkata, “Di sini kami punya Tuhan yang sama. ” Demikianlah, saat saya datang ke Indonesia, umat Buddha Indonesia bertanya pada saya apa sebenarnya makna Adibuddha. Saya jelaskan pada mereka bahwa Anda dapat membicarakannya dalam kerangka cita bercahaya jernih. Dalam diri setiap orang, ini adalah pencipta dari wujud kita, hal yang kita tangkap dengan indera; jadi dalam pengertian ini Adibuddha sama seperti pencipta.

Dengan menggunakan tafsir umum tentang Adibuddha ini, saya mampu masuk ke dalam percakapan dengan para cendekiawan Islam di negara-negara lain. Para cendekiawan Islam cenderung sangat terbuka pada hal ini karena dalam Islam, Allah tidak dipandang sebagai sosok orang. Demikian pula, daya pencipta dalam setiap cita ini – yang mungkin dilihat sebagai sesuatu seperti tuhan pencipta yang ditemukan dalam diri setiap insan – juga tidak dipandang sebagai sosok orang.

Seperti yang diajukan dalam pemikiran-pemikiran Nyingma, Kagyu, dan Sakhya dari ajaran Buddha Tibet, Adibuddha melampaui kata-kata, melampaui berbagai nalar dan pola pikir, tak terkhayalkan. Para cendekiawan Islam dapat menghubungkan diri mereka dengan hal ini dengan sangat baik. Juga, asas-asas dasar tentang kasih dan welas asih yang terkandung dalam ajaran-ajaran ini membuat para cendekiawan Islam menjadi sangat terbuka untuk mengetahui lebih banyak tentang ajaran Buddha.

Di masa lalu, umat Buddha di wilayah seperti Afghanistan, Asia Tengah, dan subbenua India tidak diakui oleh para penguasa Muslim sebagai “Ahli Kitab” menurut penggunaan istilah Al-Quran yang ketat untuk mengacu pada orang Kristen dan Yahudi. Akan tetapi, umat Buddha menerima derajat dan hak yang sama dengan “Ahli Kitab”. Ini berarti bahwa mereka dapat tetap menganut agama mereka, selama mereka membayar pajak penduduk khusus. Jadi, dalam percakapan saya dengan para cendekiawan Muslim, kami bersama-sama menjelajahi apa yang dimaksud dengan “Ahli Kitab”. Saya bertemu dengan seorang pemimpin Sufi Afrika Barat dari Guinea yang menjelaskan bahwa “Ahli Kitab” berarti orang yang percaya pada asas-asas budi pekerti dan kesusilaan nirwujud yang lebih tinggi yang, dalam pengertian ini, menciptakan atau menata dunia. Istilah itu tidak serta-merta berarti orang-orang yang mengakui Lima Kitab Musa (Taurat). Juga, dalam penyelidikan lebih lanjut, yang mengagetkan saya adalah bahwa dalam bahasa Turki Lama dan Sogdian, bahasa kuno yang dipakai untuk menerjemahkan naskah-naskah ajaran Buddha yang tersedia di Uzbekistan dan Afghanistan bagian utara sekarang, istilah Dharma diterjemahkan dengan menggunakan kata pinjaman dari bahasa Yunani noum, yang aslinya bermakna “hukum”. Kemudian, kata nom untuk Dharma dipinjam dari Sogdian ke dalam bahasa-bahasa Asia Tengah lainnya yang dipakai untuk menerjemahkan naskah-naskah ajaran Buddha, seperti Uighur (dari rumpun bahasa Turki) dan Mongol. Dalam bahasa Mongol modern, “ nom” bukan hanya kata untuk “Dharma” saja, tapi juga untuk makna tambahan “kitab”, dalam pengertian kitab-kitab yang mengandung Dharma dalam bentuk tulisan.

Tapi, umat Buddha bahkan tidak memiliki kesamaan isi kitab seperti yang dimiliki umat Muslim, Kristen, dan Yahudi dalam Lima Kitab Musa?

AB: Tidak, tapi persoalan “Kitab” ini menandakan pentingnya hukum budi pekerti sebagai landasan percakapan dan keselarasan antaragama.

Dr. Akpinar (SA): Saya mengikuti garis nalar yang sama. Menarik untuk mengingat bahwa bapak dari banyak segi budaya Turki sebelum mereka menjadi Muslim adalah Chinggis Khan (Genghis Khan), yang menaklukkan dan memerintah mereka menurut apa yang disebut dengan yasa, yang berarti “hukum”. Tentunya, hukum yang ini sifatnya lebih duniawi, tapi pola pikir yasa sangat mirip dengan Dharma: hukum abadi yang menggerakkan dunia.

AB: Pokok permasalahannya, saya kira, adalah bahwa Anda perlu menemukan penggunaan istilah umum yang membuat para penganut dua agama menjadi terbuka untuk bercakap-cakap.

SA: Ya. Ajaran-ajaran Islam tentang Syariat agaknya dapat sewarna dengan ajaran Buddha dalam pengertian tertentu. Kata Arab syariat adalah hukum yang perlu orang patuhi agar lalu-lintas dapat mengalir dengan mudah di dunia ini. Ini hanyalah batasan-batasan yang memungkinkan orang hidup dalam keselarasan. Menurut syariat, Anda harus tahu cara menghadapi naluri, keragu-raguan, dan suara hatimu. Jadi syariat bukanlah seperangkat aturan, tapi seperangkat cara yang digunakan agar bisa mendapatkan kebenaran; hampir seperti meditasi.

Dan tarikat atau “jalan batin” sangat sering digambarkan sebagai titik tengah dari syariat. Jika Anda membayangkan syariat sebagai garis keliling sebuah lingkaran, tarikat membimbing Anda ke tengah-tengahnya. Jika Anda membayangkan syariat sebagai sebuah bulatan, tarikat adalah titik pusat dari bulatan tersebut, yang menghubungkan Anda dengan bulatan-bulatan lain. Itu adalah jalan batin langsung menuju Tuhan, yang merupakan yang tak diketahui, ketiadaan.

Jadi ada pola-pola pikir dalam Islam yang sangat mirip dengan yang ada dalam ajaran Buddha. Pada mulanya, kebanyakan pola pikir ini berasal dari Asia Tengah, jadi besar kemungkinan ada kaitannya dengan ajaran Buddha, bahkan dalam tataran sejarahnya. Menarik untuk memerhatikan pertautan lebih jauh antara agama Buddha, Islam, dan Kristen. Teologi al-Ghazali, ahli teologi Islam yang agung, adalah apa yang mendorong Thomas Aquinas untuk menuliskan teologinya di sekeliling konsep iman dan akal sehat. Persoalan-persoalan ini telah dibahas di Asia Tengah di antara umat Buddha dan non-Buddha dalam rincian yang luar biasa.

AB: Pola-pikir seperti jihad, yang bermakna “usaha yang benar” juga memiliki gema dalam ajaran-ajaran Buddha.

SA: Pikiran Anda bisa jadi jihad. Segala hal yang Anda lakukan bisa jadi jihad.

AB: Sifat beladiri yang disarankan oleh istilah jihad juga ditemukan dalam banyak istilah Buddha. Hal ini tidak mengejutkan. Bagaimanapun juga, Buddha sendiri berasal dari kasta ksatria yang berkuasa. Setelah berjerih-payah dengan usahanya yang benar, Buddha digambarkan sebagai Yang Berjaya, yang memenangkan pertempuran melawan perasaan-perasaan yang mengganggu. Jadi di mana pertempuran itu terjadi? Itu terjadi di dalam cita; sebuah pertempuran melawan kebodohan, keserakahan, kemelekatan, amarah, dan kebencian.

Juga ada banyak pengaruh di sana-sini antara gerakan Sufi dan agama Buddha di Asia Tengah dan India. Anda menemukan dalam aliran Sufi praktik yang mirip dengan pelantunan mantra. Persis seperti saat orang Sufi melafalkan nama-nama Tuhan, umat Buddha memuji nama-nama Manjushri. Selain itu, ada pula praktik-praktik yang dapat dipahami bagi umat Muslim dan Buddha, termasuk tawaf dan peziarahan. Dalam kedua agama itu, terdapat penekanan kental pada kemurahan hati dan pada kesetaraan bagi tiap orang. Sukar sekali dikatakan, mengenai ciri-cirinya satu-per-satu, apakah pengaruhnya berasal dari satu pihak atau dari pihak yang lain, atau apakah masing-masing berkembang secara mandiri.

SA: Selama berabad-abad, telah banyak terjadi hubungan langsung antara India dan Teluk Persia. Di masa-masa awal itu, Basra merupakan pelabuhan yang tumbuh dengan subur dan kapan saja ada orang yang sakit parah di Teluk Persia, mereka cenderung berlayar menuju Bombay karena angin muson akan membawa mereka sampai di sana lebih cepat. Sedari awal, juga, telah terjadi pertukaran dalam hal-hal teologis.

AB: Baghdad, tentunya, dibangun oleh para arsitek India sebagai ibukota dari dinasti Abbasid yang baru. Selama masa paruh kedua dari abad kesembilan, terdapat rumah pengetahuan di Baghdad; para penerjemah Buddha dan Hindu datang ke sana untuk menerjemahkan beragam naskah ke dalam bahasa setempat, Arab. Jadi terjadi hubungan lintas budaya yang kental di sana. Salah satu dari wilayah besar pertukarannya adalah ilmu pengetahuan, khususnya astronomi, astrologi, dan pengobatan.

SA: Dan juga filsafat. Sebuah kekeliruan, saya kira, dari Barat adalah bahwa kapan saja filsafat dibahas dalam konteks Muslim, selalu saja dihubungkan dengan Yunani, padahal banyak dari pola-pikir filsafat ini sebetulnya tidak berasal dari Yunani, melainkan India atau Timur.

AB: Percakapan para pemimpin rohani Muslim dengan para pemimpin agama lain ini terus berlanjut, khususnya oleh peran orang-orang seperti Yang Mulia Dalai Lama. Yang Mulia pernah meminta saya untuk mencarikannya seorang pemimpin Sufi Kulit Hitam dari Afrika Barat – betul-betul rinci penciriannya – untuk membahas dua agama tersebut. Pemimpin semacam itu hampir-hampir seperti jatuh dari langit saja. Dialah Dr. Tirmiziou Diallo, berasal dari keluarga yang turun-temurun telah menjadi pemimpin Sufi di Guinea, Afrika barat, yang saya sebutkan di awal tadi, dan yang saya temui lewat seorang teman kami, orang Jerman, di korps diplomatik. Saya menemaninya ke Dharamsala untuk bertemu dengan Yang Mulia. Pokok pembicaraan yang paling mereka berdua minati adalah cinta dan welas asih. Pemimpin Sufi ini begitu tersentuh hatinya oleh pengalamannya bersama Yang Mulia, sampai-sampai beliau datang menghadiri upacara Kalacakra Yang Mulia yang diselenggarakan di Graz, Austria, Oktober lalu.

SA: Setiap bab dalam Al-Quran dimulai dengan seruan bagi Tuhan yang Maharahim dan Mahakasih. Saya melihat Al-Quran pada dasarnya sebagai sebuah tafsir atas Lima Kitab Musa, karena setiap orang mengetahui kisah-kisah Lima Kitab Musa di masa kehidupan Muhammad. Tapi, apa yang Muhammad suntikkan ke dalam tradisi kuno Yahudi adalah pola-pikir welas asih dalam hukum ilahi. Mengembangkan pepatah lama, “mata ganti mata,” Muhammad menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakasih, dan jika Anda dapat menemukan welas asih dalam diri Anda, itu jauh lebih baik. Jadi, di seluruh isi Al-Quran, ada pelunakan terhadap hukum pembalasan.

Ada satu cerita indah dari Islam yang dialamatkan pada persoalan besar: mengapa umat Muslim berperang? Pertama-tama, Muhammad, seperti setiap nabi lain yang diilhami oleh Tuhan, merupakan orang yang tidak suka kekerasan. Tapi, masyarakatnya sekarat dan mereka diserang. Akhirnya, Muhammad melihat bahwa ia tidak bisa menahan para pengikutnya lebih lama lagi untuk tidak melawan. Saat itulah Muhammad menuturkan ucapannya yang terkenal: 

Aku lihat aku tak bisa menghentikan ini, jadi jikalau kamu harus melawan, lawanlah. Tapi jangan lupa bahwa sejak sekarang sampai seterusnya beban perbuatanmu ada di pundakmu, dan agamamu takkan menjadi murni kecuali kamu bertanggung jawab atas beban perbuatanmu.

Ada hukum karma dalam pengajaran itu.

Kata qadr bermakna kuasa. Biasanya, di Barat, Anda juga melihat qadr sebagai takdir. Akan tetapi, kata takdir juga bisa dilihat sebagai karma. Perhatikan bagaimana Muhammad melanjutkan, 

Saat kamu memojokkan musuhmu dengan pedangmu di lehernya, dan ia memohon pengampunan, jika kamu dapat menemukan ungkapan welas asih dalam dirimu, yang terbaik untuk dilakukan adalah memaafkannya dan mengubah musuhmu menjadi teman. Tapi, jika kamu tidak dapat menemukan sepercik welas asih dalam dirimu untuk orang itu, teruskan dan bunuhlah dia. Tapi cobalah untuk menemukan rasa welas asih itu karena kamu bertanggung jawab pada Tuhan.

Banyak dari umat Muslim masa awal sebenarnya orang yang pindah agama di medan perang. Tapi, gagasannya adalah bahwa bukan orang yang nyawanya selamat, tapi orang yang membiarkan musuhnya hiduplah yang menjadi orang yang lebih baik.

Jadi dengan jihad Islam yang sekarang ini, di mana welas asih ini terletak?

SA: Kelihatannya tidak ada. Kini, ada beberapa versi Islam yang sangat militan yang telah sempal dari silsilahnya. Orang-orang Neo-Muslim ini kerap kali mendaku bahwa tak ada perlunya mempelajari Al-Quran, biarpun itu merupakan kitab suci, landasan semata bagi Islam. Bagi mereka, sudah cukup bila telah mempelajari bab pertama dan kedua, dan melupakan sisanya. Begitu hal tersebut dilakukan, timpanglah iman.

AB: Sangat penting untuk menekankan bahwa mereka yang militan, fanatik, dan fundamentalis ini hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan umat Muslim. Ada orang-orang fundamentalis fanatik di setiap agama, termasuk agama Buddha.

Apa ada ajaran-ajaran dalam Islam yang akan berujung pada atau membenarkan tindakan bom bunuh diri?

SA: Dalam Islam, seperti di dunia Kristen, boleh jadi ada para syuhada. Pelaku bom bunuh diri mendaku diri mereka sebagai syuhada; tapi, mereka membunuh diri mereka sendiri. Aturan pertama adalah, “Janganlah engkau membunuh,” khususnya dirimu sendiri. Orang-orang ini bukan syuhada; mereka hanya “pembunuh-diri”.

IM: Banyak penganut agama Buddha di Barat mengenal Islam utamanya lewat para penyair Sufi seperti Rumi dan Hafiz, yang menekankan pada cinta dan pengabdian menyeluruh pada Tuhan atau pada gagasan bahwa Tuhan mewujud lewat semua hal. Sementara orang menyukai para penyair itu dan menyukai pendekatan semacam itu, cinta menawan yang mereka bicarakan tampaknya tak punya tempat lapang dalam kebanyakan ajaran Buddha yang telah dianut oleh banyak umat Buddha di Barat, yaitu meditasi hening dan penyelidikan batin.

SA: Ada banyak juga orang Muslim yang tidak sesuka-ria itu saat beribadah. Puisi itu sangat kuat dan mungkin berakar pada agama Hindu, atau pada aliran kebaktian India lainnya. Tapi, ada suatu aliran lain dari Asia Tengah yang menjembatani Islam dan Buddha dalam cara yang sangat menarik. Orang Cina menyebutnya “sajak sejodoh” atau sajak empat baris. Dalam bahasa-bahasa rumpun Turki, sebutannya koshma, yang berarti “yang berlari melewati pikiranmu”. Sebuah pikiran yang ditangkap saat pikiran itu berlari menjauh; sebuah pikiran yang harusnya Anda biarkan pergi, tapi Anda tangkap juga. Anda menulis seuntai sajak, dan menambahkan baris akhir yang memutar-balik maknanya, seperti sesuatu yang tak masuk akal. Itu seperti inti dari koan. Penyair-penyair tenar seperti Omar Khayyam mengerjakan sajak-sajak ini, seperti yang dilakukan banyak penganut Sufi, khususnya yang tinggal di Asia Tengah. Seorang penyair rakyat ternama dari Turki, Yunus Emre, juga dikenal sebagai seorang Sufi, bagus dijadikan contoh. Banyak dari puisi-puisinya dimulai dengan perenungan di atas pusara di pemakaman, yang merupakan suatu bentuk lazim dari meditasi.

Apakah ada meditasi hening dalam ajaran Sufi?

SA: Ya, bergantung tarekatnya. Beberapa tarekat menyuruh untuk menjerit, berteriak, memekik, dan menari. Yang lain, hening.

AB: Di sisi lain, unsur kebaktian yang Anda temukan dalam banyak aliran Sufi bisa juga ditemukan di antara masyarakat Barat yang berlatih di banyak pusat Buddha Mahayana. Banyak pelaku ajaran Buddha suka berkumpul bersama untuk melantun atau bernyanyi, dan beberapa melakukan yang disebut dengan “tarian vajra”.

Bisa Anda jelaskan lebih lanjut tentang Allah dalam perbandingannya dengan pandangan Tuhan di agama lain dan dengan ajaran-ajaran terkait dalam agama Buddha?

AB: Agama Buddha memiliki unsur-unsur tertentu yang dapat Anda kaitkan dengan Allah, atau dengan Tuhan secara umum, tapi tidak meletakkan semua dalam satu istilah. Bagaimanapun juga, agama Buddha tidak menegaskan bahwa ada asas atau kenyataan yang sepenuhnya melampaui atau terpisah dari kita dan alam semesta kita dalam cara dualistik yang transendental. Asas tertinggi dalam agama Buddha yang menyatukan segalanya adalah “kehampaan”. Kehampaan mengacu pada fakta bahwa tidak ada apa pun yang berada dalam kemustahilan, dalam cara khayal seperti sungguh mandiri dari segala sesuatu, tapi semua makhluk dan hal memunculkan kebergantungan satu sama lain.

Jika Anda bicara dalam kerangka kehampaan, hal itu tidaklah terpisah dari kita atau dunia kita, walaupun beberapa aliran Tibet menyebutnya melampaui kata-kata atau pola-pikir. Karena seluruh makhluk dan lingkungan ini saling bergantung, orang harus punya rasa peduli dan welas asih untuk semua sesama. Sifat welas asih itu tidaklah terpisah atau melampaui, namun merupakan bawaan dalam diri setiap orang.

SA: Saya berpikir bahwa Allah adalah ketiadaan, dan saat Anda melafalkan mantra dasar dalam Islam “La Ilaha ‘Ila Al-lah” (yang tertulis dalam bendera negara Saudi), sebetulnya Anda diundang untuk terus mengulang “Tak ada Tuhan selain Allah” terus dan terus selagi Anda mengurangi satu sukukata, atau satu “lah” setiap kalinya.

Lah” berarti “tiada,” jadi bermakna penyangkalan (negation). Dan dengan demikian, Allah adalah “Tiada” yang Agung. Allah adalah sesuatu yang tak bisa Anda bayangkan, karena melampaui segalanya, demikian juga “ah” besar di akhir kata lah yang menunjukkan ketiadaan itu. Saat Anda mengulangi, “La Ilaha Illa Al-lah,” Anda sedang mengupas lapisan-lapisan dari segala hal yang dapat terbayangkan. Anda terus mengulangnya dan menghilangkan sukukata sampai yang tinggal hanyalah “ah” dan itulah hua (Dia), napas murni dari Tuhan.

AB: Kehampaan juga merupakan sebuah penyangkalan atau penghilangan – dalam perkara ini, sebuah pembatalan terhadap segala khayalan akan bagaimana hal-hal itu ada. Ini juga diwakili oleh bunyi vokal “a” yang tak tertulis, yang dalam bahasa-bahasa India tak dapat diceraikan dari setiap bunyi konsonan bahasa Sanskerta. Juga, “a” merupakan awalan untuk penyangkalan dalam bahasa Sanskerta. Lebih lagi, dalam tantra, kita melihat peluluhan unsur-unsur kotor dari kegiatan batin dan kebingungan-kebingungan yang diwakili oleh sebuah pengejawantahan bagian-bagian sukukata hum yang meluluh ke dalam yang lain sampai hanya ada tersisa cita terang jernih bagi Anda, landasan untuk kemunculan dan saling kebergantungan akan segala hal. Jadi, walaupun kehampaan merupakan suatu sikap mendalam yang tak kelihatan yang di dalamnya segala sesuatu ada, dan tidak bersifat transenden, ada banyak kemiripan di sini dengan ajaran-ajaran Islam yang memungkinkan terjadinya percakapan dan pemahaman di antara dua agama yang luar biasa ini.

Top